SURABAYA (Suarapubliknews.net) – Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kota Surabaya tentang Pedoman Pemberian Nama Jalan dan Sarana Umum sudah masuk pada tahap pandangan umum fraksi DPRD Surabaya.
Dalam paparannya, Fraksi Handap secara tegas menolak perubahan nama Jalan Dinoyo dan Jalan Gunungsari yang menjadi inti pembahasan dalam rapaerda ini.
Penolakan fraksi gabungan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Nasdem, dan Partai Hanura ini cukup beralasan. Fraksi Handap mendasari penolakan itu pada tiga aspek, yakni historis, administrasi, dan kepatutan.
Mewakil Fraksi Handap, Vinsensius Awey mengatakan bahwa persoalan perubahan nama jalan Dinoyo dan Gunungsari pernah menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat beberapa waktu yang lalu.
Menurut dia, hal ini masih menjadi catatan penting yang harus dicarikan solusi, karena beberapa pihak menilai pemerintah kota harus tetap memperhatikan penolakan tersebut.
“Fraksi kami tetap meminta agar pembahasan Raperda ini nanti tidak serta merta mengabaikan adanya persoalan tersebut,” ujarnya, Selasa (29/5/2019).
Awey menjelaskan, dari catatan sejarah, kedua jalan ini adalah bagian dari jaringan jalan antar kota tertua di Indonesia. Kedua jalan itu sudah ada sejak dua abad silam, dan kedua nama jalan tersebut adalah saksi sejarah, melekat di ingatan kolektif publik.
“Pada tahun 1809-1811, Gubernur Hindia Belanda Willem Herman Daendels membangun jalur pos yang menghubungkan Anyer-Panarukan. Saat menembus Surabaya, jalan itu melalui desa Dinoyo. Sedangkan Gunungsari adalah percabangannya. Dua jalan ini adalah satu rangkaian,” jelasnya.
Di Dinoyo ada makam keramat yang disebut Mbah Cagak Joyo Prawiro Dinoyo. Keturunanya masih banyak di daerah ini. Sosok Mbah Cagak Joyo dari mulut ke mulut diyakini adalah perwira perang masa akhir kerajaan Majapahit.
Bahkan, masih satu rangkaian dengan sejarah Sunan Bungkul yang makamnya juga tidak jauh dari situ. Jika ini benar, maka Dinoyo sudah ada pada periode Sunan Ampel yaitu sekitar Tahun 1400an.
“Soal ini, mari kita perdalam lagi. Sebab kelemahan sejarah nusantara memang miskin literatur,” ujarnya.
Di sisi lain, lanjut Awey, nama Jalan Dinoyo itu sendiri dikenal bersejarah pada perang 10 November. Di Jalan Dinoyo ini ada sejumlah catatan perang, termasuk penuturan sejarahwan Pieter A Rohi, yang pada 21 November 1945, Agen Polisi F Nainggolan dengan berani menurunkan bendera Jepang dan diganti merah putih.
“Jepang marah dan akan menurunkan merah putih, saat itu terjadi bentrok sengit dengan arek Dinoyo yang memagari bendera merah putih,” jlentrehnya.
Heroisme di Jalan Gunungsari tidak kalah hebat, kata Awey, daerah ini menjadi pertahanan terakhir pasukan republik. Melalui jalan Gunungsari, sekutu meringsek ke arah barat. Sejarah mencatat, jika Jalan Gunungsari berhasil dikuasai, maka arah Surabaya Barat akan dikuasai sekutu.
“Puncaknya, perang sengit pada 28 November 1945, rakyat menyerbu dari bukit-bukit yang sekarang menjadi Yani Golf. Menghadang konvoi pasukan dari Wonokromo melewati Jalan Gunung Sari. Jalan Gunung Sari menjadi tempat penentuan dikala itu,” kata Awey.
Selain aspek sejarah, lanjut Awey, pertimbangan administrasi penduduk setempat. Setiap ada perubahan nama jalan, selalu berdampak pada perubahan administrasi masyarakat.
“Bagaimanakah kesiapan perubahan identitas dari sisi administratif apakah masyarakat akan direpotkan dari sisi waktu dan materi dengan bergantinya Kartu Identitas KTP dan KK serta dokumen penting lainnya, sehingga perlu ada antisipasi yang baik untuk menyelesaikan masalah ini,” ungkapnya.
Masih Awey, dari aspek kepatutan juga harus menjadi catatan. Pemkot didorong untuk selalu memerhatikan nilai-nilai dan keinginan yang ada di masyarakat. Apalagi, Pemkot masih belum mengetahui apakah perubahan nama jalan itu menjadi kebutuhan masyarakat.
“Kalau hanya untuk memperbaiki relasi antara Pemprov Jatim dan Jabar, bisa dicarikan alternatif lokasi jalan di kawasan pengembangan yang mana nama-nama jalan dikawasan tersebut masih memungkinkan dirubah sebagai contoh: Jalan Boulevard kawasan Bukit Darmo JLLB, atau JLLT yang kecil,” jelasnya.
Sementara itu, anggota Fraksi Handap Buchori Imron menambahkan, Rancangan Peraturan Daerah tentang Pedoman Pemberian Nama Jalan dan Sarana Umum sebetulnya wajar untuk dilakukan penyesuaian.
“Hal itu demi kepastian hukum dan mengikuti perkembangan jaman termasuk kebutuhan akan pelayanan yang maksimal dari pemerintah,” katanya.
Ketua DPC PPP Kota Surabaya ini menjelaskan, fakta yang menunjukkan pertumbuhan perumahan dan jalan yang saling menghubungkan di Surabaya ini semakin hari semakin cepat dan hal itu membuat Pemerintah tidak bisa terlalu lama untuk memberikan identitas kewilayahan.
“Pemerintah dalam prosesnya harus efektif dan efisien demi layanan terbaik sebagai upaya jaminan pelaksanaan pemerintahan yang bermanfaat,” tandasnya.
Menurut dia, Rancangan Perda ini akan menghapuskan Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 2 Tahun 1975 tentang Pemberian Nama-Nama Untuk Jalan, Tempat Rekreasi, Taman dan Tempat Lain Untuk Umum.
“Dalam Perda tersebut diantaranya mengatur tentang tata cara dan persyaratan pemberian nama jalan di Surabaya,” imbuhnya.
Pria keturunan Madura ini menjelaskan, Penghapusan ketentuan Perda No 2 Tahun 1975 Khususnya BAB II Pasal 2, telah menghilangkan kewenangan DPRD dalam perannya ikut memberikan persetujuan dalam pemberian nama jalan.
Untuk itu, kata Buchori, selaku wakil rakyat dengan kewenangan yang ada dapat ikut terlibat dalam proses penetapan nama jalan dan sarana umum.
“DPRD Kota Surabaya dengan fungsi pengawasan yang dimiliki seharusnya menolak dihapuskannya kewenangan untuk ikut serta dalam penetapan nama jalan, sehingga nantinya tidak cukup hanya dengan sebuah keputusan wali kota penetapan dan perubahan nama jalan atau sarana umum lainnya,” pungkasnya. (q cox)