SURABAYA (Suarapubliknews) – Kota Surabaya memiliki ikon baru di wilayah Kelurahan Lidah Wetan, Kecamatan Lakarsantri. Ikon tersebut berupa monumen Ayam Jago yang dijadikan sebagai tetenger, atau penanda sejarah dari perjuangan Joko Berek alias Raden Sawunggaling yang menjadi legenda di Kota Pahlawan.
Camat Lakarsantri Yongky Kuspriyanto Wibowo mengatakan, monumen Ayam Jago ini sebagai penanda cikal bakal berdirinya Kota Surabaya. Yongky menyebutkan, menurut cerita para sesepuh di wilayah Kecamatan Lakarsantri, Joko Berek atau yang biasa dikenal Raden Sawunggaling merupakan anak dari Adipati Jayengrono, seorang raja yang berkuasa di Kadipaten Surabaya pada zaman dulu.
Kala itu, Yongky menjelaskan, bahwa Joko Berek memiliki hobi memelihara dan adu ayam jago. Singkat cerita, Joko Berek yang saat itu hanya tinggal bersama Ibunya, yakni Biyung Dewi Sangkrah, menanyakan keberadaan ayahnya. Dewi Sangkrah lantas menjawab pertanyaan Joko Berek, bahwa ayahnya adalah seorang Adipati bernama Jayengrono.
“Saat itu Joko Berek diberi ibunya (Dewi Sangkrah) sehelai selendang warna kuning. Katanya, kalau ingin mencari keberadaan ayahnya, agar membawa selendang kuning itu ke Kadipaten Surabaya, tempat kerajaan Jayengrono,” jelas Yongky, Selasa (9/9/2025).
Sesampainya di Kadipaten Surabaya, lanjut Yongki, Joko Berek bertemu dengan dua saudara tirinya yakni Sawungrana dan Sawungsari. Lantas Sawungrana dan Sawungsari menanyakan maksud serta tujuan Joko Berek datang ke Kadipaten Surabaya.
“Joko Berek mengaku kalau anak Adipati Jayengrono, tapi saat itu Sawungrana dan Sawungsari tidak percaya, hingga akhirnya Joko Berek ditantang untuk bertarung ayam jago dan memanah. Setelah itu, akhirnya dia (Joko Berek) memenangkan pertarungan dan bertemu dengan Jayengrono. Saat itu juga, Joko Berek memberikan selendang kuning pemberian ibunya kepada Jayengrono,” terangnya.
Tidak berhenti di situ, lanjut Yongky, perjuangan Joko Berek belum berakhir. Agar bisa tinggal di lingkungan Kadipaten Surabaya, Jayengrono meminta kepada Joko Berek agar membabat habis hutan Wonokromo yang menjadi cikal bakal berdirinya Kota Surabaya saat ini.
“Wonokromo itu kan dulunya hutan, karena cikal bakalnya Surabaya zaman dulu itu ya di situ. Kenapa ada Ayam? Karena ketika dia (Joko Berek) mencari ayahnya tadi, selalu membawa ayam dan setiap kali ayam itu diadu selalu menang,” paparnya.
Yongky menerangkan, adanya monumen Ayam Jago di wilayah Kelurahan Lidah Wetan tidak hanya sebagai penanda perjuangan Joko Berek, akan tetapi juga bagian dari pengingat sejarah asal berdirinya Kota Surabaya pada zaman dulu.
Monumen Ayam Jago ini diletakkan di antara ruas Jalan Raya Menganti, Kelurahan Lidah Wetan, Kecamatan Lakarsantri, Surabaya. Letaknya tak jauh dari kawasan Makam Raden Sawunggaling di Kelurahan Lidah Wetan, Kecamatan Lakarsantri.
“Jadi dari makam ke monumen itu dekat, karena area makam Raden Sawunggaling itu berada di dalam gang, makanya monumen ini diletakkan di antara ruas jalan tadi sebagai tanda,” katanya.
Yongky mengungkapkan, sebelumnya warga Kelurahan Lidah Wetan meminta kepada Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi agar dibuatkan Monumen Ayam Jago. Selain sebagai penanda, warga ingin adanya monumen ini bisa meningkatkan wisata di kawasan Lidah Wetan.
Dirinya berharap, adanya monumen tersebut wisata sejarah sekaligus religi di kawasan Lidah Wetan bisa terus meningkat ke depannya. Untuk saat ini, ia menyebutkan, akan terus meningkatkan infrastruktur penunjang lainnya agar kawasan wisata tersebut semakin menarik untuk dikunjungi ke depannya.
“Harapannya seperti itu, harapannya infrastruktur penunjang lainnya bisa segera dibenahi. Jadi di situ itu butuh taman dan tempat parkir. Dan saya nggak menyangka kalau hasilnya (monumen) sebagus itu, sampai warga itu antusias karena sudah lama menjadi keinginan warga sejak 2023. Akhirnya monumen itu sudah terealisasi di 2025,” ujarnya.
Di samping itu, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) Lidah Wetan, M. Andi Bocor mengatakan, berdasarkan cerita dari para leluhur di kawasan Lidah Wetan, sebelumnya monumen ayam jago itu sudah ada. Namun, pada saat zaman kolonial Belanda monumen itu hilang.
Karena monumen yang dibangun oleh leluhur warga Lidah Wetan hilang, lanjut Andi, akhirnya warga menggelar napak tilas berjalan kaki menuju ke Balai Kota Surabaya. “Nah, saat di balai kota saat itu ditemui oleh Wali Kota (Eri Cahyadi) akhirnya warga serempak meminta dibangunkan kembali benteng atau monumen ayam jago. Karena sebelumnya sudah pernah ada, zaman Belanda dulu, dibangun oleh leluhur,” kata Andi.
Andi mengungkapkan, tinggi monumen yang lama tidak setinggi monumen Ayam Jago yang baru saat ini. Monumen yang ada saat ini tingginya mencapai 7 meter. Pembuatan monumen ini juga melibatkan seniman asal Kota Surabaya. “Melibatkan seniman Kota Surabaya, pembuatannya kurang lebih sekitar 2-3 minggu,” ujarnya.
Ia berharap, adanya monumen ini bisa mendongkrak wisata seni budaya tradisional di kawasan Surabaya barat. Selain itu, ia juga berharap, setelah monumen ini jadi akan ada pembangunan infrastruktur penunjang secara bertahap ke depannya.
“Ketika monumen ini nanti dibuat sebuah wisata edukasi anak-anak itu kan juga membutuhkan tempat dan lahan yang tersedia. Karena kearifan lokal itu bisa bisa juga menjadi sarana wisata sejarah, di situ juga kan ada makam Joko Berek Sawunggaling, dan bisa jadi wisata religi juga dan itu bisa disinergikan,” pungkasnya. (q cox)