SURABAYA (Suarapubliknews) – Sebagai organisasi yang anggotanya para pecinta, pemerhati satwa liar juga para pakar konservasi, Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia (Apecsi) mendesak Pemerintah untuk melakukan tindakan penyelamatan satwa Badak, utamanya jenis Sumatra.
Badak Sumatera, juga dikenal sebagai Badak berambut atau Badak Asia bercula dua, dan merupakan spesies langka dari famili Rhinocerotidae dan termasuk salah satu dari lima spesies Badak yang masih ada.
“Species Badak terdiri dari lima jenis yakni Black, White, Javan, Indian and Sumatran Rhinoceros. Namun Badak Sumatera merupakan satu-satunya spesies yang terlestarikan dari genus Dicerorhinus,” ucap Singky Soewadji Koordinator APECSI. Sabtu (13/04/2019)
Menurut Singky, Bangsa dan negara di seluruh dunia sejak dahulu sangat ingin memiliki Badak Sumatera yang populasinya makin menurun, namun Widodo S. Rahmono mantan Direktur Konservasi dan Keragaman Hayati (KKH), berhasil mempertahkan sekaligus melestarikan melalui Yayasan Badak Indonesia (YABI).
“Saat ini, Malaysia paling getol ingin memiliki Badak Sumatera, bahkan sampai melalui jalur diplomat antar negara, melobi menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), menteri Luar Negeri hingga Presiden juga sudah dilakukan,” tutur Singky.
Tapi, lanjut Singky, Direktur Eksekutif YABI, Widodo S. Rahmono sebagai orang Indonesia pertama peraih penghargaan internasional Sir Peter Scott Award tahun 2015 ini tidak goyah pada pendiriannya.
“Badak Sumatera (Dicerorhinus Sumatrensis) harus tetap berada di habitatnya untuk dilestarikan,” pinta Singky.
Menurut Singky, nilai jual Badak Sumatera di dunia internasional bisa mencapai harga sekitar 10 Juta US Dollar lebih, atau setara dengan Rp.150 Miliar.
Dikonfirmasi media ini, Widodo S. Rahmono sebagai Direktur Eksekutif YABI, tidak menolak jika beberapa pihak mengatakan bahwa keberadaan satwa badak di negeri ini sudah sangat memprihatinkan.
Menurut Pak Wid-sapaan akrab Widodo S. Rahmono, ada tiga jenis Badak di Asia yakni Badak India, Jawa dan Sumatra. Yang kondisinya masuk kategori baik hanya jenis India karena populasinya telah meningkat.
“Dulu kurang dari 100 ekor, tapi saat ini populasinya telah meningkat tajam yakni telah mencapai sekira 4 ribu ekor. Dan untuk Badak jenis Jawa, di tahun 70 an hanya berjumlah 22-25 ekor, tapi sekarang sudah berjulam sekira 67-70 an ekor. Itupun hanya da di Ujung Kulon,” terang Pak Wid.
Tapi, lanjut Pak Wid, untuk Badak jenis Sumatra kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan, karena yang ada di daratan Asia sudah punah. Yang ada tinggal di Sumatra dan Kalimantan, itupun jumlahnya kurang dari 100.
“Ada beberapa penyebab, diantara akibat perburuan liar, perkembangannya juga susah karena tidak gampang beranak (susah kawin), kalaupun berhasil beranak juga susah pemeliharaannya. Dan yang paling pokok karena habitatnya juga yang sudah mulai habis,” terangnya.
Ditanya soal Badak jenis Sumatra yang saat ini berada di Negeri Jiran Malaysia, Widodo mengatakan jika jumlahnya hanya tinggal dua ekor (Jantan dan Betina), itupun kondisinya sudah kurang baik.
“Makanya sampai diupayakan sperma dari sini (Indonesia). Ini adalah wujud kepedulian Malaysia terhadap satwa Badak, karena berupaya untuk melakukan pelestarian keberadaannya. Jadi jangan ditafsirkan yang lain,” jawabnya.
Namun Widodo sepakat dengan Singky Soewadji, bahwa kondisi satwa jenis Badak telah memprihatinkan dan menjadi kewajiban pemerintah untuk turut melestarikan keberadaannya.
“Yang harus dilakukan saat ini, pertama menyelamatkan individunya agar bisa ditangkar, habitatnya diperbaiki, jika sudah berhasil dilepasliarkan. Ini yang sedang kami lakukan dan telah ada hasilnya,” pungkasnya. (q cox)