BOGOR (Suarapubliknews) ~ Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menemukan berbagai permasalahan yang selalu muncul dalam pengawasan kemitraan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam 7 (tujuh) tahun pelaksanaan tugas baru KPPU tersebut.
Masalah tersebut meliputi rendahnya pemahaman pelaku usaha terkait kesetaraan dalam hubungan kemitraan, regulasi pelaksanaan kemitraan yang belum komprehensif, kurangnya pengawasan dan evaluasi yang berkesinambungan terhadap pelaksanaan kemitraan oleh regulator sektor terkait, minimnya koordinasi dan sinergi antarinstansi Pemerintah, serta kesiapan UMKM untuk bermitra yang masih rendah. KPPU menilai dibutuhkan koordinasi dan sinergi antar instrumen pemerintah yang memiliki mandat terkait kemitraan dan UMKM untuk dapat menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut.
Temuan ini dikemukakan Ketua KPPU M. Afif Hasbullah dalam giat Diskusi Kelompok Terumpun tentang Kebijakan dan Peran Kelembagaan dalam Pelaksanaan Hubungan Kemitraan. “KPPU memandang pengawasan pelaksanaan kemitraan kurang efektif jika hanya mengandalkan penegakan hukum oleh KPPU. Karena masih banyak permasalahan yang selalu muncul dalam pengawasan kemitraan UMKM,” jelasnya.
Sebagai informasi, KPPU menjalankan tugas pengawasan pelaksanaan kemitraan UMKM berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021. Secara khusus, KPPU mulai melaksanakan penegakan hukum atas kemitraan paska Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2019. Terhitung sejak tahun tersebut, ada 25 perkara kemitraan yang disidangkan, dengan 19 di antaranya adalah pola inti plasma, 5 pola bagi hasil, dan 1 pola distribusi dan keagenan.
Sejalan dengan pandangan Ketua KPPU, Staf Ahli Presiden Arif Budimanta menggarisbawahi bahwa peran KPPU ini bukan hanya seputar kerangka operasional, tetapi juga penekanan peran holistik dalam menjalankan mandat konstitusi Undang-Undang Dasar Tahun 1945 khususnya Pasal 33 ayat 1. Peran persaingan usaha yang dilakukan KPPU menjadi prasyarat dalam konteks keseimbangan pasar demi menjadikan suatu pasar yang sempurna. Hal tersebut merupakan mandat dari konstitusi dan juga filosofi Pancasila.
“Dalam perspektif ekonomi, Pancasila tidak anti pasar. Namun jika merefleksikan pasar dalam ekonomi Pancasila, maka pasar yang diinginkan adalah pasar yang berkeadilan. Dan salah satu kunci dari pasar yang berkeadilan tersebut adalah adanya persaingan usaha yang sehat di seluruh elemen pelaku pasar. Untuk itu diperlukan penataan dan institusionalisasi persaingan usaha melalui pembentukan KPPU,” lanjutnya.
Berdasarkan hal tersebut pemerintah perlu mendukung peran KPPU dalam pengawasan kemitraan UMKM, sebagai operasionalisasi gagasan besar Pemerintah pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Secara khusus, Arif mengatakan bahwa proses pengaturan yang lebih detil dibutuhkan dari model kemitraan itu sendiri. Kementerian/Lembaga dapat meminta bantuan KPPU dalam menyiapkan pengaturannya jika memang saat ini belum ada.
Terkait dengan pengawasan kemitraan di daerah, Kepala Bidang Penegakan Hukum Kanwil IV KPPU Surabaya Ratmawan Ari Kusnandar mengatakan masih banyak ditemui beberapa instansi pemerintah yang belum mengetahui peran KPPU dalam Pengawasan Kemitraan.
“Pemahaman terkait pengawasan kemitraan oleh KPPU berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 oleh Pemerintah Daerah juga masih kurang, terbukti masih ada beberapa daerah atau Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang mengawasi kemitraan juga belum begitu paham dengan peran KPPU dalam pengawasan kemitraan” jelasnya.
Dengan adanya diskusi tersebut, KPPU berharap dapat terbangun koordinasi dan sinergi antar instrumen pemerintah yang memiliki mandat terkait kemitraan dan UMKM. Dengan adanya sinergitas tersebut, diharapkan tercipta kesamaan pemahaman dan kebijakan yang dapat memperkuat pelaksanaan hubungan kemitraan UMKM yang sehat guna mendukung tujuan pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. (qcok, tama dini)