BisnisNasional

Kebijakan Makroprudensial BI Mampu Pertahankan Peningkatan Kredit Hingga 12,3%

227
×

Kebijakan Makroprudensial BI Mampu Pertahankan Peningkatan Kredit Hingga 12,3%

Sebarkan artikel ini

Yogyakarta (Suarapubliknews) ~ Ditengah ketidakpastian global, Bank Indonesia berkomitmen untuk terus menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan nasional melalui berbagai berbagai kebijakan yang dikeluarkan, salah satunya melalui penerapan sejumlah kebijakan makroprudensial yang terbukti mampu menjaga semangat penyaluran kredit secara nasional.

Data Bank Indonesia menunjukkan, hingga Juni 2024, tercatat pertumbuhan penyaluran kredit secara nasional mencapai 12,3%, melebihi target BI tahun 2024 sebesar 10-12%. Sementara di tahun 2025 target penyaluran kredit nasional diperkirakan akan semakin naik di level 11-13%.

Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia Nugroho Joko Prastowo mengungkapkan bahwa kebijakan makroprudensial dirancang tidak hanya untuk memberikan kemanfaatan di pusat tetapi juga untuk daerah.

“Walaupun kebijakan ini ditujukan untuk bank yang sebagian besar berkantor pusat di Jakarta, tetapi penyaluran kredit bank tersebut juga ada di daerah. Sehingga semangat dari bank yang memperoleh insentif tadi manfaatnya juga akan dirasakan oleh daerah,” ungkapnya saat kegiatan Capacity Building dan Media Gathering di Yogyakarta akhir pekan lalu.

Selain itu, berbagai proyek yang dikerjakan juga banyak yang ada di daerah, seperti proyek pertambangan dan hilirisasi. Misal proyek pertambangan nikel di Sulawesi proyek pangan untuk sawit di Sumatra, juga hilirisasi smelter yang ada di Gresik Jawa Timur. “Itu semua mendapatkan insentif. Jadi rembesan kebijakan ini manfaatnya juga akan dirasakan daerah,” tambahnya.

Sejumlah kebijakan makroprudensial yang telah dilaksanakan diantaranya adalah Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang ditujukan untuk mengoptimalkan ruang likuiditas perbankan dalam rangka mendorong pertumbuhan kredit dengan tetap menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK).

Manfaat penerapan KLM ini salah satunya dengan mendapatkan likuiditas melalui penurunan dari Giro Wajib Minimum (GWM) maksimal sebesar 4%. Saat ini, lanjutnya, rasio GWM mencapai 9% dari Dana Pihak Ketiga (DPK), dengan adanya penurunan sebesar 4%, maka kewajiban bank untuk menyetorkan GWM ke BI hanya sekitar 5%.

“Tambahan likuiditas ini akan menambahkan amunisi bagi bank yang menyalurkan kredit sehingga bank tidak perlu berkompetisi mendapatkan tambahan dana dari pihak ketiga karena ada tambahan dari bank Indonesia,” lanjutnya.

Data BI menunjukkan, penguatan KLM telah menambah likuiditas perbankan hingga sebesar Rp 256 triliun pada saat penerapan awal dan diperkirakan menjadi Rp 280 triliun pada akhir tahun.

Kemudian juga bagi ekonominya, dengan adanya kebijakan ini akan akan mampu mempertahankan penyaluran kredit yang tinggi. Langkah ini penting dilakukan karena saat ini ada banyak tantangan, baik dari global yang merembet kepada Indonesia, mulai dari tingginya inflasi hingga kenaikan suku bunga acuan sehingga hal ini mengurangi semangat penyaluran kredit dan permintaan kredit. “Dan insentif ini mampu menjaga pertumbuhan ekonominya,” katanya.

Selain KLM, juga ada kebijakan pelonggaran Rasio Pendanaan Luar Negeri (RPLN) perbankan yang mulai diberlakukan BI pada 1 Agustus 2024 untuk memperkuat pengelolaan pendanaan perbankan Indonesia di luar negeri.

Ada dua langkah yang akan dilakukan. Pertama dengan memperluas cakupan pinjaman luar negeri yang masuk ke dalam kewajiban luar negeri jangka pendek terhadap rasio permodalan perbankan yang akan disesuaikan dengan assesmen dan rendahnya risiko.

“Kalau assesmen menunjukkan kondisi resikonya rendah dan dibutuhkan pendanaan dari luar negeri, maka bisa dinaikkan menjadi 35%. Begitu risikonya naik dan kebutuhan menurun maka bisa diturunkan menjadi 25%,” terangnya.

Langkah kedua dengan tidak masukkan produk derivatif, yakni turunan dari transaksi atau repo instrumen yang diterbitkan pemerintah atau BI pada rasio aset yang dimiliki, termasuk Utang luar Negeri (ULN) jangka pendek. Kebijakan ini, menurutnya, akan meringankan rasio penyaluran kredit perbankan di luar negeri. (q cox, tama dini)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *