SURABAYA (Suarapubliknews) – Sidang lanjutan dugaan perkara penipuan proyek pembangunan infrastruktur pertambangan yang melibatkan Christian Halim sebagai terdakwa kembali digelar Pengadilan Negeri Surabaya, Selasa (30/3/2021).
Agenda kali ini menghadirkan Sapta Aprilianto, S.H. M.H., LL.M, Ahli Hukum Pidana dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, yang dalam keterangannya menjelaskan secara rinci terkait unsur-unsur serta delik dalam pasal 378 KUHPidana.
Ia mengatakan tindakan tipu muslihat dapat dilakukan dengan tindakan nyata maupun hanya lisan saja. “Tipu muslihat adalah perbuatan sedemikian rupa. Yang artinya rangkaian dari kata dan perbuatan,” terangnya.
Ia pun berpendapat, rangkaian kata bohong juga menjadi hal yang dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan, karena korban tergerak karena dampak dari kebohongan tersebut.
“Korban tidak akan tergerak atau terdorong melakukan sesuatu jika tidak ada unsur kebohongan yang dilakukan pelaku,” bebernya.
Dan rangkaian kebohongan, terjadi dalam tiga fase. Bisa terjadi sebelum perbuatan, saat perbuatan berlangsung maupun setelah perbuatan.
“Dan delik penipuan dalam pasal 378 KUHPidana dinilai memenuhi unsur apabila si korban telah menyerahkan sesuatu kepada pelaku,” ungkap ahli.
Sedangkan unsur dalam pasal 372 KUHPidana, merupakan delik kejahatan terhadap harta. Fokus perbuatan dalam pasal 372 KUHPidana yaitu pada penggunaan harta yang bukan milik pelaku.
“Misal, apabila dana sudah ada perencanaan untuk kebutuhan A, B, C dan D, tapi penggunanya tidak sesuai peruntukannya, maka disitulah unsur pemberatan terpenuhi,” jelasnya.
Bahkan ahli pun sempat mengibaratkan sebuah transaksi atau perjanjian antar pihak saat membeli sebuah sepeda.
“Ada sebuah transaksi, ada wujud sepeda dijual oleh A seharga Rp100 juta kepada si B. Dan B tertarik dan membelinya, namun saat dijual kembali, nilai sepeda itu ternyata hanya Rp10 juta. Hal ini tidak bisa dikatakan penipuan, meski pembeli merugi, karena pembeli sudah lihat secara langsung wujud sepedanya. Ini namanya bisnis. Dan sebaliknya, apabila dalam perjanjian si A menyanggupi kepada si B untuk merakit sepeda dengan nilai Rp100 juta, namun setelah jadi, kondisi komponen sepeda jauh dari nilai Rp100 juta, inilah yang dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan,” beber ahli.
Saat jaksa mencontohkan, ada sebuah perjanjian Rp20 miliar tapi hasil appraisal hanya Rp11 miliar, ahli menegaskan apabila keuntungan yang didapat itu melawan hukum dan tidak sesuai koridor-koridor maka hal itu bisa dicurigai adanya mens rea atau niat jahatnya.
“Perjanjian bisa saja dikemas guna memperlancar niat jahat pelaku. Apabila dalam kesepakatan itu ada unsur melawan hukum berarti ada unsur penipuannya atau bedrog,” tambahnya.
Usai sidang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Novan B Arianto dari Kejati Jatim mengatakan bahwa pengibaratan oleh ahli soal beli sepeda diatas sama persis seperti halnya yang terjadi pada pemeriksaan perkara ini.
“Ibarat yang ahli pakai sama persis dalam perkara ini. Karena barangnya atau aplikasi proyek kan belum ada, dan terdakwa menjanjikan membangun dengan dana Rp20 miliar, namun saat dilakukan appraisal nilainya jauh dari dana yang dikucurkan korban. Menurut kami disitu unsur penipuan penggelapan nya,” kata jaksa.
Saat dikonfrontir, terdakwa Christian Halim tidak menanggapi pendapat ahli.
Seperti yang tertuang dalam dakwaan, terdakwa Christian Halim menyanggupi melakukan pekerjaan penambangan biji nikel yang berlokasi di Desa Ganda-Ganda Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah.
Kepada pelapor Christeven Mergonoto (pemodal) dan saksi Pangestu Hari Kosasih, terdakwa menjanjikan untuk menghasilkan tambang nikel 100.000 matrik/ton setiap bulannya dengan catatan harus dibangun infrastruktur yang membutuhkan dana sekitar Rp20,5 miliar.
Terdakwa mengaku sebagai keluarga dari Hance Wongkar kontraktor alat berat di Sulawesi Tengah yang akan membantu menyediakan alat berat apabila penambangan berjalan. Padahal, belakangan diketahui terdakwa tidak memiliki hubungan dengan orang tersebut.
Dana sebesar Rp20,5 miliar yang diminta terdakwa telah dikucurkan. Namun janji tinggal janji, terdakwa tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Bahkan menurut perhitungan ahli Teknik Sipil Struktur ITS Ir Mudji Irmawan Arkani MT, berdasarkan hasil pemeriksaan fisik konstruksi, terdapat selisih anggaran sebesar Rp9,3 miliar terhadap hasil proyek yang dikerjakan terdakwa.
Atas perbuatannya, terdakwa dijerat pasal 378 KUHPidana dengan ancaman pidana penjara paling lama empat tahun. Sidang dilanjutkan Kamis (1/4/2021) mendatang, dengan agenda mendengarkan keterangan saksi Ade charge yang dihadirkan tim PH. (q cox)
FOTO: Sapta Aprilianto, SH, MH, LL.M, Ahli Hukum Pidana dari Unair Surabaya saat dihadirkan dalam sidang di ruang Candra PN Surabaya, Selasa (30/3/2021).