SURABAYA (Suarapubliknews) – Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jawa Timur mulai menyorot aktivitas politik berkampanye untuk kepentingan diri sendiri ataupun kelompok di jelang Pilwali Surabaya tahun 2020.
Menurut Novli Thyssen, S.H, Ketua KIPP Jawa Timur, pihaknya berpendapat bahwa Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu yang menjalankan fungsi pengawasan harusnya mengedepankan pencegahan daripada penindakan.
Tidak terkecuali dengan aktivitas politik pejabat negara dalam hal ini anggota dewan dan pejabat birokrasi yang mengumpulkan ibu ibu pemantau jentik (bumatik) untuk mensosialisasikan program peningkatan anggaran yang menyertakan kegiatan sosialisasi.
Pasalnya, kebijakan peningkatan anggaran adalah hasil kebijakan yang disusun, direncanakan dan diputus oleh legislatif secara kelembagaan dengan eksekutif.
“Tidaklah terpuji dan tidaklah etis jika kebijakan tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan politis anggota dewan untuk mensosialisasikannya atas nama calon wali kota dan wakil wali kota surabaya,” tulisnya dalam rilisan resmi KIPP Jawa Timur yang dikirimkan ke media ini. Rabu (12/02/2020)
Novli menyampaikan, apakah kegiatan mengumpulkan ibu ibu jentik tersebut adalah bagian dari jaring aspirasi dewan atau tidak. Jika termasuk jaring aspirasi seharusnya mensosialisasikan program program DPRD.
“Bukan kegiatan politik kampanye untuk kepentingan pribadi. Karna jika program jaring aspirasi pasti memakai anggaran APBD,” protesnya.
Terhadap hal tersebut, masih Novli, seharusnya Bawaslu melakukan tindakan memproses dan melaporkan hal tersebut ke Badan Kehormatan DPRD Jawa Timur sebagai bentuk pencegahan dan menjaga aturan main dalam pemilihan.
Sementara untuk pejabat birokrasi yang merupakan ASN, menurut Novli bisa dilaporkan ke Komisi ASN karna melanggar etik bertindak aktif berpolitik dengan memanfaatkan program pemerintah daerah.
“Jika pejabat birokrasi ASN tersebut merasa tidak terlibat dan merasa namanya dicatut, harusnya yang bersangkutan melaporkan anggota dewan tersebut ke Badan Kehormatan DPRD. Terhadap hal tersebut sudah masuk kategori penyalahgunaan kewenangan,” urainya.
Novli juga menegaskan, terhadap tindakan Bawaslu Kota Surabaya melaporkan saudara Firman Syah Ali kepada Komisi ASN atas dugaan pelanggaran etik ASN hendaknya perlu dikaji ulang.
“Karena pemaknaan pasal 11 huruf c PP no.42 tahun 2004 tidak dapat dikenakan kepada calon kepala daerah yang mencoba peruntungan dukungan pencalonan dari jalur Partai Politik,” ujarnya.
Tindakan mendaftarkan diri sebagai calon Wali Kota ataupun Wakil Wali Kota ke Partai Politik adalah mekanisme/prosedur baku yang harus dilalui oleh setiap calon yang ingin maju lewat jalur Partai Politik.
“Sehingga terhadap upaya tersebut belum memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 11. Kecuali terhadap perbuatan perbuatan diluar pendaftaran pencalonan ke Partai Politik, itu dapat dikenakan pasal 11,” tuturnya.
Novli mencontohkan, misalnya muncul ASN yang diduga menyalahgunakan jabatannya untuk kegiatan atau menghadiri kegiatan masyarakat yang bertujuan untuk kepentingan mensosialisasikan dirinya atau orang lain sebagai calon Wali Kota atau Wakil Wali Kota.
“Dengan demikian, Bawaslu Kota Surabaya tidak cermat dan cerdas dalam melakukan pengkajian, termasuk dalam menginterprestasikan sebuah aturan sehingga jauh dari kesan penilaian tidak profesional atau kesan tebang pilih,” paparnya.
Dia mengungkapkan bahwa masyarakat Surabaya masih trauma dan masih mengingat ketidakprofesional dan keperpihakan Bawaslu terhadap salah satu calon pada perhelatan Pileg 2019 yang berujung pada sanksi etik DKPP.
“Jangan sampai pelanggaran di depan mata dibiarkan saja, namun terhadap perbuatan yang belum memenuhi unsur pelanggaran justru diproses dan ditindaklanjuti,” pungkasnya. (q cox)