SURABAYA (Suarapubliknews) – Ketua Komisi D DPRD Kota Surabaya, Akmarawita Kadir, menyoroti pentingnya pengembalian fungsi dan bentuk asli Taman Bungkul sebagai cagar budaya. Hal ini disampaikan dalam rapat dengar pendapat pertama pada Agustus 2024 yang melibatkan Yayasan Usman Bungkul.
“Intinya, kita ingin mengembalikan marwah Taman Bungkul sebagai cagar budaya. Taman ini adalah salah satu warisan penting yang perlu dilindungi,” ujar Akmarawita, Rabu, (04/12/2024)
Dalam pertemuan tersebut, Akmarawita menjelaskan bahwa DPRD memberikan kesempatan kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) serta dinas terkait untuk menindaklanjuti masalah ini.
Namun, ia menyayangkan hasil musyawarah antara Pak Sis, juru kunci Makam Mbah Bungkul, dan Pak Iwan, Ketua Yayasan Usman Bungkul, yang belum membuahkan solusi konkret.
“Permasalahan ini bukan soal perebutan ahli waris. Pak Iwan, selaku Ketua Yayasan Usman Bungkul , ingin mengembalikan fungsi dan bentuk cagar budaya di Taman Bungkul yang dinilainya sudah berubah,” kata Akmarawita.
Ia menegaskan, perubahan bentuk dan fungsi cagar budaya bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Cagar Budaya, yang melarang adanya modifikasi yang mengurangi nilai historis dan budaya.
Akmarawita menekankan bahwa pengawasan cagar budaya adalah tanggung jawab Disbudpar, apalagi Kota Surabaya memiliki peraturan daerah (Perda) tentang cagar budaya.
“Ada laporan tentang munculnya bangunan-bangunan baru di area Taman Bungkul. Kami akan melihat denah dan memastikan semuanya dikembalikan sesuai aturan. Jangan sampai ada pelanggaran fungsi cagar budaya,” tegasnya.
Selain itu, Akmarawita juga menyoroti adanya iuran yang disebut sebagai iuran paguyuban di Sentra Wisata Kuliner (SWK) Taman Bungkul. Ia mempertanyakan mekanisme pengelolaan iuran tersebut karena Dinas Koperasi dan Dinas Pendapatan tidak mengetahui keberadaan dan penggunaannya.
“Iuran ini katanya untuk penataan, tetapi tidak tercatat sebagai pemasukan resmi. Bahkan, Dinas Pendapatan mencatat nol kontribusi dari Taman Bungkul,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti peran Pak Sis sebagai penjaga makam. Menurutnya, tanggung jawab penjaga makam seharusnya hanya terbatas pada area makam, bukan mencakup seluruh pengelolaan.
Masalah lain yang disoroti adalah pengelolaan parkir di Taman Bungkul yang dinilai belum transparan. Pendapatan parkir yang mencapai Rp1-4 juta per hari belum ditata dengan baik, sementara kondisi kebersihan di area SWK masih memprihatinkan.
“Tekel-tekel di SWK banyak yang tidak sesuai, dan taman terlihat kumuh. Hal-hal seperti ini harus segera diperbaiki,” tutupnya.
Akmarawita berharap Disbudpar segera mengambil langkah tegas untuk mengembalikan fungsi Taman Bungkul sebagai cagar budaya sekaligus memastikan pengelolaan yang transparan dan sesuai aturan.
Sementara itu, Ketua Yayasan Usman Bungkul, Iwan, mengungkapkan bahwa Komisi D DPRD Kota Surabaya telah menyetujui langkah pemantauan selama satu bulan terhadap permasalahan pengelolaan Taman Bungkul. Pemantauan tersebut akan dimulai pada awal Januari 2024.
Dalam keterangannya, Iwan menyampaikan harapannya agar sebagai ahli waris, pihaknya dapat segera mendorong penataan ulang Taman Bungkul. Menurutnya, taman yang menjadi aset Pemerintah Kota Surabaya dan berada di tengah kota tersebut saat ini berada dalam kondisi yang memprihatinkan.
“Awalnya, masalah ini kita bawa ke forum hearing bersama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) serta 51 undangan dari berbagai dinas terkait. Saat itu, seolah-olah semua menyetujui untuk berdamai dengan pengelola sekarang. Namun, kenyataannya, status kami sebagai keturunan ahli waris malah tidak diakui,” ujar Iwan.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa surat warisan yang ditinggalkan oleh leluhurnya disebut cacat hukum oleh pihak terkait, meskipun produk hukum tersebut diterbitkan oleh Pengadilan Agama Surabaya.
“Surat dari mbah saya, yang jelas-jelas sah, dianggap cacat hukum. Bahkan, keberadaannya disingkirkan hanya karena ada cerita soal mbah buyut punya surat lain. Kok bisa percaya begitu saja tanpa bukti? Ini negara hukum, harusnya yang menjadi dasar adalah bukti yang sah, bukan sekadar omongan,” tegasnya.
Iwan mengingatkan bahwa permasalahan ini tidak hanya menyangkut kepentingan pribadi, tetapi juga berpotensi merusak citra dan aset penting Kota Surabaya. Ia berharap adanya perhatian serius dari semua pihak terkait untuk menjaga keadilan dan kejelasan hukum dalam menyelesaikan sengketa ini. (q cox)