Jatim Raya

Oegroseno: Peraturan Kapolri no 9 th 2012 dan UU RI no 22 th 2009, Tak Bisa Dijadikan Acuan untuk Kasus Kristin

11
×

Oegroseno: Peraturan Kapolri no 9 th 2012 dan UU RI no 22 th 2009, Tak Bisa Dijadikan Acuan untuk Kasus Kristin

Sebarkan artikel ini

SURABAYA (Suarapubliknews) – Peraturan Kapolri no 9 th 2012, pasal 28 ayat 3 dan UU RI no 22 th 2009 pasal 281 dan 288, tidak bisa dijadikan sebagai acuan untuk Lau Djin Ai alias Kristin yang saat ini sedang diproses hukum dengan dakwaan telah melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Pendapat ini disampaikan Komjen. Pol. (Purn.) Drs. Oegroseno, SH, Wakapolri periode 2013-2014, bahwa Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2012 pasal 28 ayat 3 tentang perpanjangan SIM yang sudah habis masa berlakunya, pasal 281 SD 288 UU Nomor 22 tahun 2009 ttg LLAJ itu mengatur tentang mengemudi dan kelengkapannya.

Pak Oegro-sapan akrab Oegroseno, mengatakan jika ada yang menggunakan kedua aturan tersebut untuk menjerat Ibu Kristin, maka dinilai telah bingung dalam melakukan proses hukum, apalagi jika digunakan sebagai acuan dalam sebuah tuntutan.

“Saya hanya menganalogikan apakah SIM yang habis masa berlakunya juga bisa ditahan ? Jadi kalau Ijin Penangkaran mati ya seharusnya cukup diberitahu untuk diperpanjang saja dan tidak perlu ditahan berbulan bulan. Penyidik saja tidak menahan, berarti penyidik lebih jeli dan pintar dalam menyidik masalah penangkaran bu Kristin,” ucapnya kepada media ini. Jumat (22/03/2019)

Menurut Pak Oegro, kasus yang dialami oleh bu Kristin merupakan titik awal untuk membangun proses penanganan dan juga pemahaman UU Nomor 5 tahun 1990 bagi Aparat Penegak Hukum dan Kementerian LHK duduk bersama mengupas tuntas UU tersebut.

Masih Pak Oegro, Undang Undang ini sangat khas dan berhubungan erat dengan penanganan ciptaan Tuhan Sang Pencipta, karena menyangkut kehidupan dan kematian makhluk hidup dan tumbuhan yang ada dibumi yang selalu berhubungan dengan manusia.

“Satwa itu bukan Barang Bukti, tetapi harus disebut sebagai Makhluk Bukti, apabila menyangkut penangkaran, maka satwa tersebut harus disita ditempat sampai proses hukum selesai,” tandasnya.

Oleh karenanya Pak Oegro berharap, Jangan sampai terjadi satwa dibagi-bagi dengan pihak-pihak yang seolah olah ingin merawat satwa tersebut.

“Apakah setiap barang bukti kendaraan bermotor dalam kejahatan pencurian atau penggelapan juga dapat dititipkan ke showroom kendaraan?” analoginya.

Untuk itu Pak Eogro menyarankan kepada pemerintah untuk meningkatkan peran BKSDA agar memiliki ruang penangkaran/pelestarian satwa yang luas dan dapat diperankan sebagai RUPBASAN atau RUPMAHSAN (Ruang Penitipan Makhluk Hidup Sitaan Negara).

Terpisah, media ini berusaha melakukan konfirmasi kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Akbar dengan pertanyaan, Apa betul salahsatu acuan tuntutannya adalah Peraturan Kapolri no 9 th 2012, pasal 28 ayat 3 dan UU RI no 22 th 2009 pasal 281 dan 288.

JPU Akbar hanya menjawab dengan singkat. “Sepertinya ada yang salah menyampaikan ke njenengan,” jawabnya. “Acuan tuntutan dari dakwaan,” tambahnya. (q cox)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *