Hukrim

Siap jadi Saksi Ahli untuk Kasus Lauw Djin Ai Alias Kristin, Ini Paparan Singky Soewadji

38
×

Siap jadi Saksi Ahli untuk Kasus Lauw Djin Ai Alias Kristin, Ini Paparan Singky Soewadji

Sebarkan artikel ini
Ibu Kristin dengan kondisi tangan diborgol saat akan menjalani persidangan

SURABAYA (Suarapubliknews) – Singky Soewadji, pemerhati satwa liar yang berlatar belakangan pengusaha kembang api asal Surabaya mengaku prihatin atas nasib yang diderita Lauw Djin Ai Alias Kristin (60 tahun), karena harus mendekam di balik jeruji besi sejak 3 Januari dan sidang pertama 14 Januari 2019 lalu.

Oleh karenanya, Singky Soewadji menyatakan dirinya siap menjadi saksi ahli dalam persidangan Lauw Djin Ai Alias Kristin yang telah digelar tujuh kali di Pengadilan Negeri Jember.

Menurut Singky, 15 tahun bukanlah waktu yang pendek bagi Lauw Djin Ai Alias Kristin menekuni dunia usaha penangkaran burung, khususnya jenis Paruh Bengkok di kota kelahirannya Jember Jawa Timur.

“Dengan mengantongi ijin dari Direktorat Jendral Kementerian Kehutanan, Lauw Djin Ai Alias Kristin mulai melakukan usaha penangkaran burung jenis Paruh Bengkok yang dilindungi oleh undang-undang, dan tergolong pertama di Jawa Timur dan paling baik dan sukses,” ucapnya kepada media ini. Jumat (1/3/2019)

Dia mengatakan jika sebenarnya Lauw Djin Ai Alias Kristin juga berhasil mengantongi ijin edar dalam maupun luar negeri.

Dan untuk mengantongi ijin edar jenis satwa liar yang dilindungi oleh undang-undang, kata Singky, seorang penangkar harus berhasil menangkarkan hingga keturunan ke dua (F2), sedikitnya butuh waktu 4 tahun.

“Karena burung Paruh Bengkok jenis Kakatua misalnya, usia dua tahun baru bisa kawin dan bertelur. Dan anaknya (F1) harus usia dua tahun baru bisa menghasilkan anak (F2) yang boru diijinkan untuk di edarkan (dijual),” ,” katanya.

Namun, lanjut Singky, tanggal 25 Mei 2018 Tim Krimsus Polda Jatim mendatangi penangkaran milik Lauw Djin Ai Alias Kristin di Jember atas laporan mantan karyawannya yang di pecat karena menjual burung dilindungi secara ilegal.

“Anehnya, Lauw Djin Ai Alias Kristin justru dilaporkan ke Polda Jatim karena menjual burung dilindungi secara ilegal, dan Polisi dari Polda Jatim saat datang dipenangkaran milik Lauw Djin Ai Alias Kristin menemukan dokumen ijin penangkaran yang sudah mati masa berlakunya,” tuturnya.

Fakta dipersidangan, masih Singky, pihak penyidik Krimsus Polda Jatim mencabut BAP tentang perdagangan satwa dilindungi secara ilegal, karena selain tidak bisa membuktikan, tidak ada barang bukti, juga pihak penyidik tidak berhasil menghadirkan saksi.

“Namun hingga hari ini Lauw Djin Ai Alias Kristin masih mendekam dalam tahanan dan sidang sudah berlangsung tujuh kali sidang. Sungguh ironis bila hanya masalah administrasi, ijin penangkaran mati, seorang konservasionis yang ikut melestarikan harus dipidanakan dan dipenjara,” kritisnya.

Menurut dia, masalah administrasi ini bukan pelanggaran, tapi keteledoran dan tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada pihak penangkar, dan bukan rana Polisi. Justru pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) gagal melakukan pembinaan.

“Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) wajib hukumnya melakukan pengawasan dan pembinaan,” ujarnya.

Pasalnya, lanjut Singky, setiap bulan, setiap Triwulan dan setiap tahun pihak penangkar harus membuat laporan ke BKSDA dan sebaliknya pihak BKSDA wajib melakukan pemeriksaan dan bikin Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

“Bila ijin penangkaran mati hingga waktu yang lama dan bertahun-tahun, serta tidak adanya laporan rutin dari pihak penangkar dan di diamkan oleh pihak BKSDA, berarti telah terjadi pembiaran dan pelanggaran yang justru dilakukan oleh BKSDA,” paparnya.

“Bila harus dipidanakan, justru harusnya pihak Polda Jatim harus menahan petugas BKSDA Jatim, bukan Lauw Djin Ai Alias Kristin sebagai penangkar,” imbuhnya.

Singky mencontohkan kasus di Gianyar Bali, bahwa Nyoman Kutha (64) seorang pensiunan guru yang menemukan Landak di sawahnya, ditangkap dan di pelihara hingga beranak pinak ditangkap dan dipidanakan karena memelihara satwa liar dilindungi tanpa hak.

Landak yang disita dan dititipkan ke BKSDA Bali itu akhirnya justru mati semua. Kalau mau adil, harusnya pihak BKSDA Bali bisa dipidanakan karena kelalaiannya hingga satwa yang dilindungi mati.

“Untungnya, ketua majelis hakim I Ketut Gede, dengan anggota I Wayan Kota dan Suhartanto. Ketiganya menilai perbuatan terdakwa Nyoman Khuta telah dapat merawat dan menjaga Landak-Landak tersebut dengan baik, dan menjatuhkan vonis percobaan,” bebernya.

Oleh sebab itu, tegas Singky, pada sidang Lauw Djin Ai Alias Kristin berikut, hari Selasa 5 Maret 2019, pihak kuasa hukum akan menghadirkan dirinya sebagai salah seorang saksi ahli dan menyatakan diri bersedia.

“Saya hanya berharap, majelis hakim Pengadilan Negeri Jember setelah memeriksa saya sebagai saksi ahli, bisa memutuskan secara bijak dan adil kasus ini. Polri dan Kejaksaan harus belajar tentang aturan dan undang-undang konservasi lebih seksama, agar jangan jatuh korban menpidanakan orang yang tidak bersalah,” jlentrehnya.

Bahkan Singky juga kembali membukan lembaran kelam yang dialaminya, bahwa dirinya sempat menjadi korban dan sempat dipenjarakan, hanya karena mengungkap kasus penjarahan lebih 420 satwa Kebun Binatang Surabaya (KBS).

“Justru saya dipidanakan, diborgol dan dipenjara selama 18 hari yang akhirnya dijadikan tahanan kota sebelum divonis Bebas Murni, atas dakwaan pencemaran nama baik para sindikat penjarah satwa yang kasusnya justru di SP3 oleh Polrestabes Surabaya,” pungkasnya. (q cox)

Foto: Kristin, janda tua usia 60 tahun yang diborgol dan dipenjarakan hanya gara-gara ijin tangkar mati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *