SURABAYA (Suarapubliknews) – Dalam situasi pandemi seperti ini, membentuk kesadaran masyarakat adalah hal paling utama. Self-awareness bahkan bisa menjadi kunci kesuksesan pemutusan mata rantai Covid-19. Sementara sanksi administratif, meski bersifat represif, namun juga punya banyak kelemahan.
Pernyataan ini disampaikan oleh Sosiolog Nanyang Technological University Singapore, Prof Sulfikar Amir. Menurut dia, penerapan sanksi administratif kepada pelanggar tentunya memiliki banyak kelemahan. Misalnya, seberapa lama dan seberapa sering aparat melakukan pengawasan? Tentu, jumlah dan tenaga aparat terbatas.
“Bisa saja saat ketahuan petugas, warga menerima sanksi administratif, namun tanpa kesadaran masyarakat, tidak ada yang bisa menjamin warga tersebut tidak melakukan pelanggaran jika tidak ada petugas,” kata Prof Sulfikar, Sabtu (20/06/2020).
Karena itu, Prof Sulfikar mendorong pemerintah lebih menerapkan pendekatan strategi komunikasi dibanding penegakan sanksi. Misalnya, strategi intervensi komunikasi melalui tokoh agama atau tokoh masyarakat. Pemerintah bisa berkomunikasi dengan para ulama untuk menyisipkan pesan-pesan pentingnya menjalankan protokol kesehatan untuk kebaikan umat.
“Dengan begitu, masyarakat bisa lebih menerima pesan dengan baik,” kata dia.
Selain itu, ada juga yang namanya prinsip mayoritas mempengaruhi minoritas. Ketika mayoritas warga sudah sadar dan komitmen mengenakan masker, maka itu lebih mudah untuk mempengaruhi minoritas yang belum memakai masker. Prinsip ini, menurut dia, sudah diterapkan dengan baik melalui satgas Kampung Tangguh Semeru Wani Jogo Suroboyo.
“Intinya, saling mengingatkan antar warga,” paparnya.
Dengan demikian, Prof Sulfikar menyatakan bahwa sanksi administratif bukan satu-satunya solusi. Ada banyak komponen pendekatan yang bisa dilakukan sebelum pemberian sanksi administratif tersebut. “Tidak menutup kemungkinan juga pemberlakuan sanksi sosial,” terangnya.
Sebelumnya, Wakil Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Surabaya Irvan Widyanto, menjelaskan hakekat Peraturan Wali Kota (Perwali) Surabaya nomor 28 tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada kondisi pandemi Covid-19.
Menurut dia, hakekat dari Perwali itu adalah Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini ingin memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk mendisiplinkan diri dalam menerapkan protokol kesehatan.
“Jadi, Ibu Wali Kota itu tidak ingin menekan warganya, beliau ingin merangkul warganya supaya sadar, sehingga masyarakat bisa secara sadar pula menerapkan protokol kesehatan demi memerangi pandemi ini,” kata Irvan.
Apalagi, Irvan menyebut, situasi saat ini sangat sulit bagi semuanya, sehingga Wali Kota Risma tidak ingin membebani warganya dengan pengenaan denda-denda itu. Makanya, dalam Perwali itu tidak ada sanksi berupa denda-denda, karena memang yang dibutuhkan saat ini adalah kesadaran masyarakat dan masyarakat perlu dirangkul untuk menertibkan masyarakat yang lain.
“Sekali lagi, filosofi dari Perwali itu adalah Ibu Wali Kota menaruh kepercayaan kepada masyarakat. Dengan begitu, kesadaran masyarakat akan tumbuh. Nah, ketika kesadaran itu tumbuh, maka itulah arti mitigasi yang sebenarnya. Jadi, saat ini masyarakat tidak butuh ditekan-tekan lagi oleh aparat dan sebagainya, tapi yang dibutuhkan sekarang ini adalah masyarakat dirangkul untuk mengatur masyarakat yang lain,” jelasnya. (q cox)