SURABAYA (Suarapubliknews.net) – Rapat dengar pendapat di ruang Komisi C DPRD Surabaya yang membahas soal hilangnya bangunan bersejarah di Jl Mawar no 10-12 Surabaya yang dihadiri Dinas Pariwisata dan tim cagar budaya kota Surabaya berlangsung panas.
Saat hearing, Wiwik Widayati Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surabaya, mengatakan jika pihaknya hanya mengeluarkan surat rekomendasi renovasi, bukan pembongkaran, apalagi secara total seperti yang dilakukan.
Namun Wiwik juga mengatakan jika dirinya telah berkoordinasi dengan pemilik dan pemohon renovasi untuk melakukan rekonstruksi bangunan cagar budaya yang telah dibongkar beberapa hari yang lalu.
Berbagai tanggapan disampaikan oleh mayoritas anggota Komisi C DPRD Surabaya seperti A Suyanto, M Mahmud, Agung Prasodjo, Endy Suhendy dan Sudirdjo. Namun yang paling keras disampaikan oleh Riswanto asal FPDIP, yang mengatakan bahwa label cagar budaya terhadap bangunan kuno yang diberikan oleh tim dan Pemkot tidak berpihak kepada pemiliknya bahkan terkesan merampas hak pribadi warga.
“Pemberian label cagar budaya itu sama sekali tidak memikirkan bagaimana nasib pemiliknya yang secara otomatis tidak bisa berbuat apa-apa, ini sama dengan merampas hak pribadi seseorang, karena Pemkot tidak punya solusi ketika pemilik bangunan ini terhimpit ekonomi dan ingin memanfaatkan atau menjual bangunan miliknya, artinya hanya asal tempel saja,” ucapnya dengan nada tinggi. Senin (9/5/2016)
Tidak hanya itu, Saifudin Zuhri sebagai pimpinan rapat spontan menohok ketua tim cagar budaya kota Surabaya Prof. Aminudin Kasdi dengan pertanyaan tegas, apakah anda yakin jika bangunan yang kini telah dihancurkan itu masih merupakan bangunan aslinya di tahun 1945? Jika benar, apaka sudah ada kajian teknisnya yang ilmiah?
Secara mengejutkan, Prof. Aminudin Kasdi mengaku jika label cagar budaya yang diberikan terhadap bangunan di Jl Mawar itu hanya berdasarkan cerita yang dianggapnya pelaku sejarah, dan yang bersangkutan dikatakan sudah almarhum. Artinya tidak disertai kajian teknis dan akademis sebelumnya.
“Kami memang tidak punya kajian teknis, tetapi kami berdasarkan cerita pelaku sejarah yang saat ini kondisinya sudah almarhum, kalau pengen tau secara jelas, ya nanti tak panggilkan dari akhirat,” jawab Prof. Aminudin Kasdi ketua tim cagar budaya Surabaya yang terkesan emosi.
Jawaban ini semakin memanaskan suasana rapat, karena tanggapan dari salah satu perwakilan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan (Jatim) bernama Riski, bahwa penentuan status cagar budaya itu harus didahului dengan kajian teknis dan akademis yang ilmiah.
Mananggapi hal ini, Vinsesnsius awey anggota Komisi C asal partai Nasdem meminta kepada Pemkot Surabaya (Disbupar) untuk kembali mengkaji sekaligus memilah ulang 273 bangunan yang saat ini telah dinyatakan sebagai cagar budaya di Kota Surabaya.
“Lakukan pendataan, pengkajian dan pemilahan ulang terhadap seluruh 273 bangunan yang saat ini berstatus cagar budaya, yang memiliki nilai historis apalagi heroik seperti rumah Bung Tomo dan Cokroaminoto tetapkan dan segera akuisisi dengan cara dibeli, namun yang memang tidak disertai kajian teknis atau asal stempel saja, yang dibebaskan saja status cagar budayanya agar tidak menjadi beban Pemkot Surabaya, utamanya terkait perawatannya,” tandasnya.
Terakhir, Saifudin Zuhri mengatakan jika pihaknya akan terus mengusut kasus pembongkaran bangunan cagar budaya, termasuk IMB yang telah dikeluarkan oleh dinas terkait, dengan cara kembali menggelar hearing di ruangannya.
Sebelumnya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surabaya menggelar prescon terkait bangunan cagar budaya di Jalan Mawar Nomor 10 pasca pembongkaran pada 3 Mei 2016 lalu.
Wiwiek Widayati selaku kadisbudpar Kota Surabaya mengatakan jika upaya pelestarian akan dilakukan diantaranya berkoordinasi dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan guna melakukan pendataan terhadap sisa-sisa bangunan rumah eks radio perjuangan Bung Tomo yang dibongkar tersebut.
Disbudpar bersama BCB Trowulan telah melakukan identifikasi bagaimana penyusunan batu-bata dan sebagainya, untuk kemudian direkonstruksi ulang sesuai wujud bangunan asalnya. BPCB Trowulan bekerja sampai Kamis dan Disbupar kini masih menunggu laporannya.
“Setelah itu, kami berkomunikasi intens dengan pemilik untuk upaya mengembalikan bangunan ini ke bentuk semula dan agar mereka mematuhi arahan kami. Harapan kami mereka kooperatif. Selain itu, kami juga melakukan upaya lain dengan memberi tetenger (penanda) bahwa di area tersebut dulunya pernah menjadi lokasi perjuangan Bung Tomo dan Arek-Arek Suroboyo,” tegasnya di kantor Bagian Humas Kota Surabaya, Senin (9/5) sore.
Terkait pembongkaran bangunan cagar budaya tersebut, Wiwiek menjelaskan bahwa bangunan di Jalan Mawar 10 tersebut telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Pemkot Surabaya juga telah memberi tetenger (penanda). Bahkan ada dua penanda berupa plakat dan papan bahwa bangunan di Jalan Mawar tersebut adalah bangunan cagar budaya melalui Surat Keputusan Wali Kota tahun 1996 silam.
Kemudian, pada tanggal 20 Februari 2016, dilakukan permohonan oleh pihak pemilik (bapak Amin), dalam hal ini anak pemilik, untuk melakukan renovasi bangunan tersebut. Lalu pada 14 Maret, turun rekomendasi dari Disbudpar dengan posisi merenovasi. Sampai kemudian, pembongkaran dilakukan pada 3 Mei lalu.
“Tanggal 3 Mei itu kami langsung ke lapangan. Kami keluarkan surat peringatan kepada pemilik untuk menegaskan kembali bahwa bangunan itu adalah cagar budaya sesuai SK Wali Kota tahun 1996 ,” tegas Wiwik Widayati.
Disbudpar kemudian meminta agar pengerjaan di lapangan dihentikan. Juga menandai dengan garis penanda Satpol PP Kota Surabaya (Satpol PP line) seperti halnya garis polisi (police line). Termasuk juga melakukan penyegelan. “Itu langkah-langkah awal yang kami lakukan. Dan kami menggelar jumpa pers ini juga agar informasinay tidak simpang siur. Kami juga menyampaikan permohonan maaf bila ada statement kami yang kurang berkenan,” sambung dia.
Terkait pengawasan, Wiwiek menegaskan bahwa instansinya sebenarnya telah melakukan berbagai upaya pengawasan. Semisal ketika ada pemilik bangunan cagar budaya melakukan permohonan renovasi, Disbudpar menyampaikan penjelasan dan arahan untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan. Lalu, ketika menempatkan plakat penanda, itu juga merupakan upaya untuk memebrikan penekanan bahwa bangunan itu termasuk cagar budaya. “Kami juga aktif berkeliling untuk melakukan pengawasan,” sambung dia.
Wiwiek juga menyebut bahwa kejadian ini akan membuat pihaknya lebih meningkatkan pengawasan terhadap bangunan cagar budaya yang ada di Surabaya. Seandainya sistem pengawasan yang telah terbangun ternyata ada celah, akan lebih dimaksimalkan.
“Kita belajar bersama. Kami akan lebih meningkatkan pengawasan. Informasi tentang bangunan cagar budaya juga akan kita share supaya instasi terkait juga bisa satu frame dan koordinasinya bisa lebih kuat lagi,” sambung dia.
Selama ini, Disparta Kota Surabaya sebenarnya sudah melakukan berbagai upaya untuk pelestarian bangunan Cagar Budaya. Diantaranya dengan membagikan (share) informasiterkait keberadaan bangunan cagar budaya ke instansi terkait. Karena memang, upaya pelestarian bangunan cagar budaya di Surabaya, sejatinya bukan hanya ranah nya Pemkot.
“Komunitas peduli cagar budaya selama ini juga telah berperan dalam melakukan upaya pengawasan,” ujarnya.
Selain itu, Pemkot sebenarnya telah melakukan upaya agar warga merasa ikut memiliki bangunan cagar budaya sehingga tergerak untuk ikut merawatnya. Pemkot telah memberikan keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebeasar 50 persen kepada bangunan cagar budaya baik persil maupun kawasan.
“Pemkot juga telah memberi fasilitas dengan harapan biaya pengurangan pajak tersebut digunakan untuk pemeliharaan bangunan cagar budaya,” sambung mantan Kabag Kerja Sama Pemkot Surabaya ini.(q cox)