SURABAYA (Suarapubliknews) – Norma Sari Simanungsong dan Eriyanto Siagian Law Office mengaku tak puas dengan penyidikan perkara dugaan penggelapan yang dilakukan Ditreskrimum Polda Jatim. Pasalnya, perkara yang ditanganinya selaku pengacara pelapor berinisial YX, kini harus di SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) atau dihentikan.
“Saya akan mengupayakan dan akan melaporkan penyidikan perkara ini ke Propam. Kami harapkan kinerja aparatur penegak hukum ini sesuai dengan KUHAP,” kata Norma Sari Simanungsong di Surabaya, Rabu (15/3).
Norma menjelaskan, perkara ini bermula saat kliennya YX yang merupakan warga negara China bersama suaminya BY mendirikan perusahaan PT HPI, bergerak dibidang industry dan perdagangan di Kabupaten Mojokerto. Pendirian perusahaan ini dilakukan bersama LY (terlapor) yang juga warga negara China dihadapan notaris, dengan susunan BY menjabat sebagai Komisaris dan LY sebagai Direktur.
Dalam prosesnya, BY memerintahkan istrinya yakni YX untuk mentransfer Rp7 miliar kepada terlapor LY untuk mendirikan perusahan. Lanjut Norma, perusahaan sudah berdiri, namun perusahaan tidak mengakui adanya uang tersebut untuk perusahaan, begitu juga terlapor LY. Atas dasar tersebut, YX melaporkan hal itu ke Polda Jatim pada 2 Januari 2021.
“Dalam proses penyidikannya, klien kami pun ikut diperiksa dan Polisi menetapkan LY sebagai tersangka. Sayangnya tiba-tiba perkara ini dihentikan penyidikannya. Bahkam klien kami tidak mendapat surat pemberitahuan untuk penghentian perkara, tiba-tiba sudah mendapat SP3 dari penyidik,” jelasnya.
Terkait SP3 ini, Norma mengaku kliennya merasa kecewa dengan kinerja penyidik kepolisian dalam perkara ini. Karena keberatan akan SP3, pihaknya melayangkan surat dan tidak ada tanggapan dari penyidik Polda Jatim. “Kita kaget dengan SP3 ini karena pemeriksaan dan penyitaan barang sudah 80 persen. Tiba-tiba SP3 dikeluarkan dengan alasan tidak cukup alat bukti,” ucapnya.
Masih kata Norma, BY pun melayangkan gugatan pra peradilan terhadap Ditreskrimum Polda Jatim selaku termohon. Meski gugtan pra peradilan ditolak Majelis Hakim, namun disaat pra peradilan inilah terungkap bahwa ada pengembalian dari terlapor.
“Yang kami inginkan adalah penyidikan yang transparan. Namun kami hanya diberitahu via telpon bahwa ada pengembalian uang dari terlapor,” ucapnya.
Ditegaskannya, meski terlapor sudah mengembalikan uang kerugian, namun hal itu tidak menghapus tindak pidananya. Bahkan pengembalian uang itu pun kurang dan tidak sesuai dengan kerugian uang yang diderita klien kami, yakni sebesar Rp7 miliar.
“Klien kami merasa kecewa dengan penanganan perkara yang dilakukan kepolisian. Selain lapor Propam, mungkin kami juga akan melapor ke Kompolnas dan Mabes Polri,” pungkasnya. (q cox)