HukrimJatim RayaPeristiwa

Terapkan RJ Terhadap Perkara Narkoba, Kejari Surabaya Rehabilitasi 6 Tersangka

25
×

Terapkan RJ Terhadap Perkara Narkoba, Kejari Surabaya Rehabilitasi 6 Tersangka

Sebarkan artikel ini

SURABAYA (Suarapubliknews) – Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Surabaya melaksanakan Rehabilitasi Dengan Pendekatan Keadilan Restorative (Restorative Justice) terhadap 5 (lima) Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika.  Kamis (27/4/2023)

Pelaksanaan rehabilitasi ini dihadiri oleh Direktur dan Wakil Direktur RSJ Menur, Kepala Seksi Tindak Pidana Umum dan Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Surabaya, Dokter dan beberapa Tenaga Kesehatan pada RSJ Menur, serta para Tersangka dan bersama keluarganya.

Acara yang bertempat di Balai Rehabilitasi NAPZA ”Mitra Adhyaksa” Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur Kota Surabaya ini telah dilaksanakan rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restorative (Restorative Justice) dengan jumlah tersangka sebanyak 6 (enam) orang.

Ke enam orang tersebut yaitu Mochamad Mochtadi Bin H. Hasan Sujati, Faisal Akbar Pratama Bin Indra Basuki, Moch. Nur Fauzy Bin Moch. Safi’i, Budiyono Bin Wagiran, Arvie Riswandi Bin Boeang Kasdiono dan Fatkurrohman Hakim Bin Poniran.

Menurut Kasi Pidum Kejari Surabaya Ali Prakoso, pelaksanaan rehabilitasi melalui proses hukum ini berdasarkan Pedoman Jaksa Agung Republi Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif Sebagai Pelaksanaan Asas Dominitus Litis Jaksa.

Sebelum dilakukan pelaksanaan rehabilitasi ini, kata Ali, Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Surabaya telah melakukan penelitian terhadap Berkas Perkara dengan hasil bahwa terhadap para Tersangka memenuhi persyaratan untuk dapat dilakukan rehabilitasi menurut hukum.

“Antara lain hasil pemeriksaan laboratorium forensik positif mengandung narkotika, tidak terlibat jaringan peredaran gelap narkotika, merupakan pengguna terkahir (end user), pada saat ditangkap tidak ditemukan barang bukti narkotika atau barang bukti narkotika tidak melebihi pemakaian 1 (satu) hari,” jelasnya.

Ali menuturkan, jika berdasarkan asesmen terpadu Tersangka dikualifikasikan sebagai pecandu, korban penyalahguna atau penyalahguna narkotika, tidak pernah menjalani rehabilitasi atau telah menjalani rehabilitasi tidak lebih dari dua kali yang didukung dengan surat keterangan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang dan adanya surat jaminan dari pihak keluarga Tersangka untuk bersedia menjalani rehabilitasi melalui proses hukum.

Atas dasar tersebut, lanjutnya, Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Surabaya mengajukan paparan (ekspose) dengan pimpinan dengan kesimpulan bahwa terhadap 6 (enam) tersangka tersebut dapat dilakukan rehabilitasi melalui proses hukum dalam jangka waktu selama 3 (tiga) bulan.

“Jaksa selaku pengendali perkara berdasarkan asas dominus litis dapat melakukan penyelesaian perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melaui rehabilitasi pada tahap Penuntutan,” tandasnya.

Ali menegaskan, bahwa penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi merupakan mekanisme yang tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan keadilan restoratif, dengan semangat untuk memulihkan keadaan semula yang dilakukan dengan memulihkan pelaku pidana penyalahgunaan narkotika yang bersifat victimless crime, dapat memberikan kemanfaatan (doelmatigheid), mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, sebagai pelaksanaan asas pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) serta pemulihan terhadap pelaku. Sehingga dapat terwujud kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kemanfaatan dengan menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, serta keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini, hanya berlaku satu kali saja dan untuk pengulangan tindak pidana atau pelaku yang sudah pernah dihukum tidak dapat dihentikan perkaranya dengan mekanisme RJ.

“Diharapkan dengan dihentikannya perkara pidana melalui RJ ini, tersangka dapat bertaubat dan dapat menjalani kehidupan bermasyarakat tanpa adanya label/stigmatisasi sebagai ”terpidana”,” pungkasnya. (q cox)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *