Jatim Raya

Tolak Kekerasan dan Tuntut Kebebasan Pers, Aliansi Jurnalis Jember Gelar Aksi Unjuk Rasa

10
×

Tolak Kekerasan dan Tuntut Kebebasan Pers, Aliansi Jurnalis Jember Gelar Aksi Unjuk Rasa

Sebarkan artikel ini

JEMBER (Suarapubliknews) – Aliansi Jurnalis Jember yang merupakan gabungan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jember, Forum Wartawan Lintas Media (FWLM) Jember, dan Pers Mahasiswa, menggelar aksi orasi bersama di Bundaran DPRD Jember untuk menuntut kebebasan Pers, Jum’at (3/5/19).

Selain itu, aksi tersebut sebagai ungkapan keprihatinan mereka terhadap maraknya kekerasan yang dialami para Jurnalis dan kebebasan Pers yang hingga kini masih saja terancam.

Dalam orasinya, Koordinator aksi Mahrus Sholih membacakan empat tuntutan yang isinya sebagai berikut:

1.kekerasan terhadap jurnalis merupakan pembungkaman berkespresi dan secara aturan melanggar UU Pers 1999.

2.Semua pihak harus memberikan ruang seluas-luasnya kepada Jurnalis khususnya bagi seluruh pemangku kebijakan publik sesuai yang diatur dalam UU KIP.

3.Penuntasan kasus pelarangan peliputan hingga kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh Aparat dan Pejabat Publik.

4.Mewajibkan Kepolisian Republik Indonesia, patuh terhadap Mou Kapolri dan Dewan Pers untuk menggunakan UU Pers No.40 Tahun 1999 sebagai lex specialis derogat legi generalis.

“Tahun 2019 merupakan tahun Politik dimana masyarakat turut serta mengamati seluruh prosesnya. Pengamatan ini juga tak lepas dari laku kerja Jurnalis dan Media Massa yang kerap dianggap berpihak pada kubu tertentu. Akibatnya tentu saja kebebasan pers dan kekerasan pada jurnalis yang terus terjadi,” ucap Mahrus dalam orasinya.

Pada Peringatan World Press Freedom Day 2018, lanjut Mahrus, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jember masih menyoroti banyaknya aksi pengekangan kebebasan pers.

“Mulai dari kasus kriminalisasi jurnalis menggunakan UU ITE, kasus kekerasan yang menimpa jurnalis, tidak adilnya penerapan hukum pada pelaku kekerasan pada jurnalis hingga pemutusan hubungan kerja sepihak yang dilakukan perusahaan media,” lanjutnya.

Tak hanya itu saja, dalam orasinya Mahrus membeberkan beberapa kasus kekerasan yang menimpa para Jurnalis di beberapa tempat, diaantaranya kasus yang menimpa Ghinan Salman dan juga proses peradilan kasus dugaan penganiayan dan penghalang-halangan kerja yang dialami mantan jurnalis Jawa Pos Radar Madura yang berakhir mengecewakan.

“Dalam sidang dengan agenda putusan, Senin (29/4/2019), majelis hakim Pengadilan Negeri Bangkalan yang diketuai Sri Hananta membebaskan terdakwa tunggal, Jumali dari seluruh dakwaan,” tandasnya.

Dia juga mengatakan jika kekerasan pada Jurnalis juga terus terjadi. Terbaru, penganiayaan yang dialami dua jurnalis foto, Iqbal Kusumadireza (Rezza) dan Prima Mulia, pada aksi May Day Rabu, 1 Mei 2019. Rezza dan Prima mendapat kekerasand dari Aparat Kepolisian yang bertugas menjaga aksi saat May Day berlangsung.

Usai menggelar aksi Mahrus menyampaikan,peringatan May Day 2019 yang semestinya menjadi hari raya bagi kaum buruh justru menjadi hari duka bagi para pekerja media di Jawa Tengah.

“Kabar duka itu muncul ketika seorang kawan pekerja media di sebuah media legendaris Jawa Tengah, Suara Merdeka bernama Abdul Munif menerima sepucuk surat pemberhentian kerja secara sepihak oleh perusahaannya sehari menjelang peringatan Mayday 2019,” ungkapnya.

Kasus pembungkaman juga banyak ditemukan pada Pers Kampus atau Pers Mahasiswa. Ada kasus Pers Balairung yang sempat diperiksa Polisi karena tulisan tentang kasus pelecehan yang menimpa salah satu mahasiswa di Kampus. Tak ketinggalan aksi bredel di Lembaga Pers Mahasiswa Suara USU, Sumatera Utara.

Mahrus mengatakan,berbagai rentetan kasus itu membuktikan masih banyak yang tak paham tentang kebebasan pers. Ini tertuang dalam Pasal 8 Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan, dalam menjalankan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum.

“Kerja-kerja jurnalistik itu meliputi mencari bahan berita, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, hingga menyampaikan kepada publik,” terang Mahrus.

Mereka yang menghalang-halangi tugas jurnalis juga bisa dijerat pasal pidana yang merujuk pada KUHP, serta Pasal 18 UU Pers, dengan ancaman dua tahun penjara atau denda Rp500 juta.

“Dalam catatan AJI Jember sejumlah kasus kekerasan dan kebebasan pers tak pernah tuntas baik secara hukum pers maupun sesuai dengan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Alih-alih menggunakan UU Pers, banyak kasus yang menguap begitu saja,” imbuhnya. (q cox)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *