Bisnis

Ziarah Sejarah Jejak Pahlawan Peranakan Arab di Indonesia

71
×

Ziarah Sejarah Jejak Pahlawan Peranakan Arab di Indonesia

Sebarkan artikel ini

SURABAYA (Suarapubliknews.net) – Tetapi kita jangan berterima kasih kepada warga keturunan Arab. Karena mereka sudah menjadi bagian dari keluarga besar bangsa kita sejak ratusan tahun yang lalu.

Pernyataan tersebut tertuang pada pidato Bung Karno (Presiden Soerkarno) di Semarang pada 1948, dalam buku Ziarah Sejarah ‘Mereka yang Dilupakan’ oleh Hamid Nabhan dijelaskan bahwa warga Indonesia keturunan Arab banyak bersumbangsih terhadap kemerdekaan.

“Kalau diselusuri banyak pahlawan yang berasal dari keturunan Arab, diantaranya Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Raden Saleh, Fattahillah, Haji Oemar Said Tjokroaminoto yang bermarga Basyaiban dan banyak lagi,” katanya.

Menurutnya banyak jejak sejarah warga keturunan Arab dalam perlawanan melawan penjajah. Namun sayang penulisan masih sangat minim dan langka. “Dalam buku ini saya ingin sejarah untuk dipahami bukan dipungkiri,” terang pemilik nama Hamid Muhammad Nabhan ini.

Salah satu yang mungkin tidak diketahui adalah Rumah Pegangsaan Timur 56 Cikiniyang menjadi saksi sejarah teks proklamasi dibacakan merupakan milik saudagar kaya peranakan Arab Faradj Said Martak yang kemudian dihibahkan kepada negara.

“Ada juga Sultan Abdul Hamid II atau Syarief Abdul Hamid Al Kadrie yang merupakan perancang dan pencipta lambang negara Burung Garuda Pancasila. Ada Saleh Bin Husain Bin Yahya atau lebih dikenal Raden Saleh Syarief Bustaman bapak seni lukis modern Indonesia,” lanjutnya.

Dalam buku setebal 118 halaman ini juga dijelaskan tentang alasan pidato Bung Karno tersebut. Sebelum Indonesia merdeka, persisnya pada 4 Oktober 1934 di Semarang, lima tahun setelah Sumpah Pemuda 1928, sejumlah kaum muda keturunan Arab mendukung gagasan tanah air Indonesia dan tidak lagi mengaitkan dengan asal-usulnya yaitu Hadramaut, Yaman.

Dimotori pemuda idealis bernama Abdurrahman (AR) Baswedan, sebagian kaum peranakan Arab di Hindia Belanda saat itu telah sampai pada satu titik pencarian identitasnya, yaitu bersumpah bertanah air Indonesia. Di saat itu pula, AR Baswedan mengumpulkan para peranakan Arab dan mendirikan Persatuan Arab Indonesia (PAI) yang mendukung kemerdekaan Indonesia.

“Oleh karena itu Bung Karno sendiri yang mengusulkan dan membuat PP No.10 yang disetujui MPR bahwa warga keturunan Arab diberi status Kewarganegaan ‘Stelsel pasif’ yang sama dengan warga Pribumi yaitu otomatis dianggap dan dicatat sebagai WNI. Sedangkan warga keturunan Cina dan India dan lain-lain digolongkan ‘Stelsel Aktif’ artinya untuk jadi WNI mereka harus mendaftarkan diri,” papar Hamid.

Hamid berharap buku ke 27 nya yang kembali akan dibagikan secara gratis ke sekolah dan perpustakaan di seluruh Indonesia ini, generasi muda tidak melupakan peran besar para habaib dalam perjuagan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.

“Kita harus jujur dalam penulisan sejarah. Bahwa banyak pahlawan kita termasuk dari kelompok Habaib,” tegasnya. (q cox, Tama Dinie)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *