Jatim Raya

Jelang Putusan Sidang Kasus Kristin, APECSI: Ini Ujian Keadilan yang Hakiki Bagi Majelis Hakim

11
×

Jelang Putusan Sidang Kasus Kristin, APECSI: Ini Ujian Keadilan yang Hakiki Bagi Majelis Hakim

Sebarkan artikel ini

JEMBER (Suarapubliknews) – Sidang kasus terdakwa Lau Djin Ai alias Kristin akan memasuki babak putusan yang kabarnya bakal digelar pada hari Senin (1/04/2019) oleh Pengadilan Negeri Jember.

Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia (APECSI) meyakini bahwa kasus yang menjerat Kristin yang merupakan penangkar unggul dan pertama di wilayah Jatim menjadi ujian keadilan yang hakiki bagi Majelis Hakim dalam menerapkan UU Konservasi.

Pasalnya, tak sedikit fakta persidangan yang berhasil diungkap, yang tentu akan dijadikan salahsatu pertimbangan bagi Majelis Hakim dalam memutuskan sebuah perkara, termasuk yang menjerat terdakwa Kristin hingga mengalami penahanan selama beberapa bulan.

Singky Soewadji Koordinator APECSI, mengatakan bahwa kasus penangkaran burung CV Bintang Terang adalah salah satu bukti carut marutnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Menurut Singky, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) sudah tidak memiliki wewenang untuk menangkap perdagangan ilegal.

“Sekarang wewenang ada di Gakkum, petingginya dari Lingkungan Hidup yang anggotanya Polhut. Bisa dibayangkan, ASN Lingkungan Hidup menangani kasus konservasi, dilapangan main babat, semua dibabat,” ucapnya kepada media ini. Kamis (28/03/2019)

Pengamat satwa liar asal Kota Surabaya ini, menegaskan jika ternyata Undang-undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem dipahami sepenggal-sepenggal, penangkaranpun ikut disapu.

Padahal dalam UU tersebut, kata Singky, juga disebutkan bahwa salah satu kegiatan atau pilar dalam melakukan kegiatan konservasi terhadap sumber daya alam dan ekosistemnya adalah pemanfaatan secara lestari.

“Kasus CV Bintang Terang di Jember paling gamblang, penangkarnya diborgol dan dipenjara karena ijin tangkar mati. Ijin mati bukan ranah Polisi dan bukan Pidana, ini hanya masalah administrasi,” tambahnya mengulangi statement sebelumnya.

Singky berpendapat, seharusnya KSDA melindungi dan mengayomi mitra masyarakat penangkar, bukan malah ikut mempidanakan.

“Ini preseden buruk bagi dunia konservasi Indonesia, para penangkar lainnya akan ciut dan tiarap, Belum lagi penangkar merak biru asal India juga ikut ramai-ramai disita dan dibagikan ke Kebun Binatang yang dijuluki sebagai Lembaga Konservasi. Dimana letak dan nilai konservasinya? Kebun Binatang hanya tempat tontonan, lebih tepat disebut sebagai tempat peragaan,” tuturnya.

Maka Singky meyakini jika dalam kasus CV Bintang Terang, kalau mau di salahkan, justru pihak KSDA yang paling salah, bahkan bisa di pidanakan karena ASN digaji negara lalai dalam tugas dalam pembinaan.

“Setiap bulan, setiap tri wulan dan setiap tahun penangkar wajib beri laporan tertulis,” tandasnya.

Sebaliknya, lanjut Singky, pihak KSDA wajib bikin Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dan bila protap ini dilaksanakan, tidak mungkin ijin tangkar CV Bintang Terang mati selama tiga tahun bisa terjadi.

“Buka juga UU No 5 Th 90 pasat 37 tentang peran serta masyarakat. Mengembang biakkan satwa adalah melestarikan. Peran serta masyarakat ikut menangkarkan adalah ujung tombak pelestarian,” tegasnya.

Dia menyatakan bahwa semakin berhasil usaha penangkaran, akan menyusutkan deretan daftar jenis satwa yang dilindungi. Penangkaran sebagai kunci keberhasilan pemanfaatan yang lestari tidak dipahami dengan benar.

“Penangkar perorangan atau masyarakat sebagai ujung tombak pelestarian tumbuhan dan satwa liar tidak dipahami. Kasus Jalak Bali seharusnya menjadi contoh keberhasilan pemerintah melestarikan Jalak Bali di alam melalui penangkaran Jalak Bali yang ijinnya dibuka lebar dan dipermudah,” kritiknya.

Menurut dia, kini Jalak Bali harganya di pasaran turun drastis dan tidak ada dipasar gelap, karena yang resmi dari penangkaran saja hasilnya berlimpah. Dengan demikian pelepas liaran Jalak Bali berhasil, karena sudah tidak ada peminat untuk diburu dari alam.

Oleh karenanya, Singky sebagai koordintor menerangkan bahwa Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia (APECSI) adalah komunitas pecinta satwa luar Indonesia. Sebuah wadah bagi pecinta satwa liar berdiskusi dan saling isi.

“Kasus yang menimpa Kristin pemilik CV Bintang Terang telah mengusik APECSI, dan mengawal kasus ini serta melakukan berbagai investigasi. Dalam waktu dekat APECSI akan menyampaikan pernyataan sikap dan melakukan upaya hukum terhadap instansi yang terkait dengan kasus ini,” terangnya.

Karena menurut dia, telah terjadi kelalaian dan salah prosedur, bahkan ada kesewenangan dalam menangani kasus. Ada upaya pihak terkait melakukan pelepas liaran yang akan berujung kematian masal satwa dilindungi yang hasil penangkaran.

“Ini ibarat berburu binatang di dalam kebun binatang. Seharusnya gakkum melakukan penangkapan dimulai dari rumah dan villa milik Menteri KLHK Siti Nurbaya, bukan di penangkaran,” pungkasnya. (q cox)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *