HukrimJatim Raya

Tersangka Narkoba Dapat Program RJ, Pakar: Harus disidangkan, salah benar itu adalah di hakim

10
×

Tersangka Narkoba Dapat Program RJ, Pakar: Harus disidangkan, salah benar itu adalah di hakim

Sebarkan artikel ini

SURABAYA (Suarapubliknews) – Praktisi Hukum di Surabaya, Dr. Sunarno Edy Wibowo, menyorot pemberlakuan program Restoratif Justice (RJ) dari Kejati Jatim kepada PE Bin G tersangka kasus narkotika yang mendapatkan rehabilitasi di Pusat Therapy dan Rehabilitasi NAPZA Mitra Adhyaksa Pemprov Jatim di RS Jiwa Menur.

Cak Bowo-sapaan akrab Sunarno Edy Wibowo, mengatakan jika hal tersebut dinilai bakal memangkas kewenangan hakim di pengadilan yang seyogyanya memutus perkara.

“Harus disidangkan, nggak boleh langsung dilepas (RJ), harus datang dulu, salah benar itu adalah di hakim,” kata Bowo saat berada di PN Surabaya. Kamis (4/8/2022).

Menurutnya, setiap aparat penegak hukum di Indonesia telah memiliki tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) masing-masing. Misalnya, polisi melakukan penyidikan, pengacara membela klien, jaksa menuntut, dan hakim memutus perkara. Artinya, harus ada putusan dalam setiap perkara yang sudah dilakukan proses hukum.

“Penyidik, penuntut, dan pemutus harus menghormati etika profesi hukum,” ujarnya.

Oleh karena itu, Cak Bowo menganggap hal tersebut justru mencederai masyarakat. Terlebih, para pihak yang sebelumnya juga pernah tersandung kasus narkotika.

“Kalau masalah narkoba, tidak ada RJ, kalau begitu nanti semua dilepaskan saja, jangan hanya narkoba saja, tapi semuanya,” tuturnya.

Bowo menegaskan, bisa saja ada para pihak yang tak terima dan melakukan pra peradilan pada instansi tertentu perihal diberlakukannya RJ pada perkara narkotika itu. Mengingat, narkoba masih menjadi atensi, momok, sekaligus musuh bagi NKRI.

“Bisa saja itu (Pra peradilan), di tingkat kepolisian dan kejaksaan, bisa jadi masyarakat bisa mengajukan pra peradilan. Masyarakat yang merasa dirugikan atau LSM dan lembaga yang berhubungan dengan konsen terhadap narkoba bisa mengajukan pra peradilan, siapa saja boleh (mengajukan), meski pun bukan terpidana. Karena, dia pasti merasa ‘saya dulu kok kena gini, kok anak saya cuma berapa tahun’,” katanya.

Cak Bowo menegaskan, pra peradilan secara hukum dapat juga dilakukan pihak kepolisian terhadap pihak kejaksaan, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut juga tertuang dalam pasal 77 sampai pasal 83 KUHAP yang mengatur tentang Praperadilan tidak hanya memberikan hak kepada tersangka atau keluarganya untuk mempraperadilankan kepolisian dan kejaksaan.

“Makannya, hakim melalui Mahkamah Agung (MA), karena yang tertinggi MA (bisa menegur). ‘Ini bagaimana kok seperti ini?’ Jadi, etika profesinya nggak benar ini, berarti ini bisa melaporkan etika profesinya, hanya moral dan etika ini nggak dibenarkan,” ujar dia.

Ia menyebut, bisa saja seseorang, kelompok, atau instansi tertentu melaporkan langsung ke Kejaksaan Agung perihal tersebut. Mengingat, tupoksi di suatu instansi disebut masih satu komando.

“Nanti, MA akan membuat surat edaran juga tentang persoalan yang ada, pengadilan bukan jaksa, jaksa itu tugasnya menuntut, bukan mengadili,” tutupnya.

Sebelumnya, diberitakan bahwa Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim menjadi pilot project Restoratif Justice (RJ) dalam kasus narkotika. Hal itu diberikan Kejati Jatim kepada PE Bin G, tersangka kasus narkotika yang mendapat RJ dan direhabilitasi di Pusat Therapy dan Rehabilitasi NAPZA Mitra Adhyaksa Pemprov Jatim di RS Jiwa Menur. Kamis (4/8/2022)

“Status hukumnya sudah dihentikan. Apabila belum selesai masa rehab, kemudian tersangka keluar (belum ada penyembuhan) berati harus dipidana dan masuk ranah Pengadilan,” kata Kepala Kejati (Kajati) Jatim, Mia Amiati usai penyerahan RJ tersangka kasus narkoba di RSJ Menur.

Kajati Mia menjelaskan, ketentuan RJ bagi PE ini harus benar-benar dijalani. Pihaknya akan berkomunikasi dengan Dirut RSJ Menur. Serta akan mengevaluasi 3 bulan pertama berdasarkan ketentuhan dari Pemerintah dan berdasarkan pertanggungjawabannya. Apabila belum sembuh dan masih perlu direhab, Mia memastikan masih ada 3 bulan kedua untuk proses rehabiltasi.

“Apabila dalam 3 (tiga) bulan belum sembuh dan tiba-tiba anaknya lari. Maka harus diproses hukum sesuai Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika, dengan ancaman pidana paling lama 4 (empat) tahun. Saya berharap PE ikuti aturan ini,” tegas Mia. (q cox)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *