PemerintahanPeristiwa

Tekan Kasus TBC, Pemkot Surabaya Masifkan Sosialisasi Cegah Penularan

68
×

Tekan Kasus TBC, Pemkot Surabaya Masifkan Sosialisasi Cegah Penularan

Sebarkan artikel ini

SURABAYA (Suarapubliknews) – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya terus melakukan berbagai upaya pencegahan dan pengendalian penyakit Tuberkulosis (TBC) di Kota Pahlawan. Salah satunya adalah dengan melakukan kolaborasi dan sinergi bersama unsur hexa helix melalui optimalisasi komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) videografi Orkestra Cinta Merdeka TBC, di Graha Sawunggaling, Senin (20/1/2025).

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, kegiatan penyuluhan ini merupakan upaya eliminasi TBC di Surabaya. Sekaligus mendukung percepatan target nasional dalam eliminasi TBC tahun 2030. Tujuan kegiatan ini adalah untuk menyampaikan informasi terkini mengenai situasi capaian program TBC di Kota Surabaya.

“Kita punya tekad untuk mengeliminasi TBC. Karena TBC merupakan salah satu penyakit yang sulit terdeteksi. Mereka biasanya malu, akhirnya tidak mengaku dan menularkan ke keluarga maupun tetangga,” kata Wali Kota Eri.

Ia melanjutkan, optimalisasi KIE dalam bentuk media sosial mengenai program TBC rutin dilakukan kepada semua unsur yang tergabung dalam Tim Percepatan Penanganan TBC di Kota Surabaya. “Bahkan Direktur Rumah Sakit Universitas Airlangga, Prof. Dr. Nasronuddin menciptakan lagu, di situ disebutkan, yang sakit jangan di diskriminasi. Stigma juga harus dirubah, ini cocok dengan target pemkot melalui RW 1 Nakes 1,” ujar dia.

Wali Kota Eri menjelaskan bahwa Pemkot Surabaya telah memiliki layanan kesehatan dengan konsep RW 1 Nakes 1 (R1N1) yang bertujuan untuk mempermudah dan mendekatkan pelayanan media kepada warga Surabaya. Layanan ini menjadi bagian dari pencegahan ketika warga mengalami sakit ringan atau berisiko tinggi.

“Dalam 1 RW bisa tahu yang hamil berapa, yang sakit berapa, dan semuanya. Itulah yang saya sebut sebagai Surabaya Bergerak. Lalu di sambutlah dengan gerakan pencegahan TBC ini, semoga dengan model ini TBC bisa dieliminasi di Kota Surabaya, dengan stigma bahwa orang terkena TBC jangan dijauhi, bisa berinteraksi tetapi menggunakan masker,” jelasnya.

Di samping itu, TBC berbeda dengan COVID-19 sehingga tidak perlu dibangun tempat khusus TBC. Sebab, jika ada tempat khusus maka menimbulkan stigma di masyarakat bahwa penderita TBC harus diasingkan.

“Pendekatannya berbeda, dokter menyampaikan penderita bisa tetap berinteraksi dengan menggunakan masker dan rutin mengkonsumsi obat sehingga bisa sembuh. Penderita TBC jangan diskriminasi, kami koordinasi dengan DPRD bagaimana pendekatan itu dilakukan,” terangnya.

Ia menyebut, penderita TBC biasanya enggan mengaku. Saat mendapat perawatan dan pengobatan, penderita seringkali bosan mengkonsumsi obat secara rutin. Akibatnya banyak penderita yang mengalami resisten obat. “Karena orang yang sakit masih belum berani lapor, TBC bisa disembuhkan dengan mengkonsumsi obat selama enam bulan dan menggunakan masker,” tuturnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, Nanik Sukristina mengatakan, TBC tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan, tetapi juga pada aspek sosial dan ekonomi. Stigma terhadap penderita TBC menjadi tantangan dalam upaya pengendalian penyakit.

“Kegiatan ini adalah untuk memperkuat sinergi dan kolaborasi antar sektor dalam mendukung program pengendalian TBC. Perlu tersampaikannya KIE kepada masyarakat dan menghilangkan stigma negatif di masyarakat terhadap penderita TBC,” kata Nanik.

Oleh sebab itu, butuh dukungan terhadap pasien TBC agar minum obat sampai tuntas  dan tercapainya eliminasi TBC tahun 2030. Sasaran kegiatan ini adalah unsur pemerintah, swasta, komunitas, hukum dan regulasi, serta media.

Sedangkan, Orkestra Cinta TBC merupakan lagu yang diciptakan oleh Direktur Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA) Surabaya, Prof. Dr. Nasronuddin sebagai upaya yang diharapkan dapat menjadi hymne program TBC hingga di tingkat nasional.

“Sehingga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa TBC bisa disembuhkan melalui pengobatan yang tuntas, serta diharapkan semua unsur hexa helix,” ujar dia.

Tak hanya itu saja, Dinkes Surabaya juga rutin melakukan skrining di Kota Pahlawan. Surabaya sendiri merupakan tempat rujukan di Indonesia Timur. Berdasarkan data hingga tahun 2024, total kasus TBC di Surabaya adalah sebanyak 11 ribu, dari 16 ribu target kasus nasional yang harus ditemukan.

“11 ribu termasuk dari luar wilayah Kota Surabaya. Kalau Kota Surabaya sendiri sebanyak 9 ribuan. Ada tambahan dari luar, karena Surabaya rujukan se-Indonesia Timur,” terangnya.

Hingga saat ini, 90 persen penderita TBC yang ditemukan tengah menjalani pengobatan. Tantangannya adalah penderita TBC harus melakukan pengobatan jangka panjang. Jika konsumsi obat berhenti maka penderita TBC akan mengalami resisten obat dan proses penyembuhan bisa lebih dari enam bulan.

“Data TBC sudah tersinkron dengan pusat, contoh dari luar Surabaya tetapi berobat ke puskesmas Surabaya bisa diobati. Melalui NIK, pasien sudah terdata melakukan pengobatan,” pungkasnya. (q cox)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *