Politik

Cegah Kekerasan Seksual Anak dan Perempuan, DPRD Surabaya Serukan Penguatan Parenting

104
×

Cegah Kekerasan Seksual Anak dan Perempuan, DPRD Surabaya Serukan Penguatan Parenting

Sebarkan artikel ini

SURABAYA (Suarapubliknews) – Komisi D DPRD Kota Surabaya menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI – PMII) Cabang Surabaya terkait meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan, Selasa (6/5/2025).

Rapat yang dipimpin oleh Arjuna Rizki Dwi Krisnayana ini dihadiri pula oleh perwakilan Dinas Pendidikan (Disdik), Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A-PPKB), serta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PC PMII.

Pertemuan ini menjadi wadah bagi KOPRI Surabaya untuk menyuarakan keresahan mereka terhadap meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan, khususnya di kalangan usia sekolah dasar dan menengah pertama.

Ketua KOPRI PMII Cabang Surabaya, Nur Lailatul Fitria, mengungkapkan bahwa banyak korban kekerasan seksual berasal dari masyarakat menengah ke bawah yang kerap mengalami hambatan dalam melapor ke lembaga formal karena merasa takut atau tidak paham prosedur.

Untuk itu, KOPRI menginisiasi program KOPRI Set Line, sebuah hotline pengaduan bagi perempuan dan anak sebagai alternatif pelaporan yang lebih informal dan mudah diakses.

“Ini adalah bentuk kegelisahan kami sebagai perempuan muda di Surabaya. Kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan terus meningkat setiap tahun. Kami ingin KOPRI hadir sebagai jembatan antara masyarakat akar rumput dan lembaga perlindungan formal,” ujar Nur Lailatul.

Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi D Ajeng Wira Wati menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah kota dan organisasi kepemudaan seperti KOPRI dan PMII.

Ia menyatakan bahwa pendekatan sosialisasi harus dilakukan lebih dekat ke masyarakat melalui forum RW, Balai RW, dan Kampung Ramah Anak yang telah ada. Ia juga menyoroti pentingnya peran keluarga dan lingkungan dalam mencegah kekerasan seksual.

“Bagaimanapun, kita butuh kontribusi dari teman-teman semua agar informasi tentang pencegahan kekerasan bisa diterima masyarakat secara efektif,” ujarnya.

Sementara itu, dr. Zuhrotul Mar’ah menekankan urgensi pendidikan parenting sebagai upaya pencegahan sejak dini. Ia menyampaikan bahwa ketahanan keluarga adalah fondasi utama dalam membentuk karakter anak yang tangguh dan terlindungi dari ancaman kekerasan.

“Kalau pendidikan keluarga dan pola asuhnya baik, maka anak-anak kita akan bisa melindungi diri sendiri dari perundungan hingga pelecehan,” jelas Zuhrotul. Ia juga mendorong agar anak-anak yang orang tuanya bekerja tetap mendapatkan perhatian melalui program perduapuluhan atau keberadaan pengganti peran ibu di lingkungan.

Imam Syafii, anggota Komisi D lainnya, menyoroti perlunya sinergi antara elemen legislatif, eksekutif, dan masyarakat sipil untuk menjalankan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2023 tentang Perlindungan Anak dan Perempuan yang merupakan revisi dari Perda tahun 2011.

Ia menegaskan bahwa regulasi seperti Perda dan Perwali harus benar-benar dijalankan di lapangan, bukan hanya menjadi formalitas semata.

“Kami tidak ingin regulasi hanya digunakan sebagai pelengkap untuk penilaian lomba-lomba. Harus ada implementasi nyata, dan di sinilah pentingnya peran civil society seperti KOPRI,” tegas Imam.

Ia juga menyarankan agar KOPRI dan LBH PMII membekali diri dengan pengetahuan terkait sistem peradilan pidana anak, agar pendampingan terhadap korban bisa dilakukan secara profesional dan sesuai hukum.

Selama rapat, para anggota dewan menyatakan apresiasinya terhadap inisiatif KOPRI-PMII yang dianggap mampu menjadi mitra strategis dalam mengatasi isu kekerasan seksual di Surabaya.

Mereka juga membuka peluang kolaborasi lanjutan, baik dalam bentuk sosialisasi ke sekolah-sekolah maupun pelibatan dalam forum-forum komunitas.

Rapat Dengar Pendapat yang digelar Komisi D DPRD Surabaya bersama KOPRI PMII menjadi momentum penting untuk memperkuat sinergi antara pemuda, legislatif, dan eksekutif dalam menangani kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan.

Dengan harapan, Kota Surabaya tak hanya ingin disebut “Kota Ramah Anak” secara simbolik, namun juga dalam aksi nyata di tingkat akar rumput. (q cox, Fred)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *