Politik

Kenapa Polemik Surat Ijo Tak Pernah Tuntas? Ini Penjelasan DPRD Surabaya

87
×

Kenapa Polemik Surat Ijo Tak Pernah Tuntas? Ini Penjelasan DPRD Surabaya

Sebarkan artikel ini

SURABAYA (Suarapubliknews) – Polemik berkepanjangan terkait status surat ijo di Surabaya kembali memuncak dan memasuki babak krusial. Persoalan yang telah berlarut selama puluhan tahun ini dinilai semakin menggerus kepentingan publik, hingga DPR RI mewacanakan hendak menggulirkan penggunaan hak mereka dalam membentuk Panitia Khusus (Pansus).

Langkah ini diharapkan mampu memutus kebuntuan yang selama ini terjadi antara pemerintah dan warga. Kekhawatiran yang mengemuka, jika persoalan ini terus dibiarkan menggantung, adalah tergerusnya kepercayaan masyarakat terhadap legitimasi pemerintah dalam mengelola aset dan hak rakyat.

Di tengah eskalasi itu, anggota DPRD Kota Surabaya dari Fraksi PDI Perjuangan, Baktiono, memberikan penjelasan mendalam mengenai akar sejarah, status hukum, serta berbagai dinamika politik yang membuat penyelesaian surat ijo terus tertunda. Di ruang kerjanya pada Rabu (10/12/2025), ia memaparkan perjalanan panjang yang dimulai sejak era kolonial hingga reformasi.

Menurut Baktiono, sumber pendapatan asli daerah pada masa lalu membuat pemerintah kota mengandalkan skema sewa atas lahan-lahan yang kini dikenal sebagai surat ijo. Banyak warga generasi terdahulu tidak memahami perbedaan antara sertifikat kepemilikan dan dokumen sewa.

“Warga zaman dahulu itu tidak mengerti soal surat tanah; yang mereka tahu itu sertifikat. Akhirnya dikeluarkanlah sewa sejak tahun 70-an,” ujarnya.

Beberapa kawasan seperti Tambak Segaran Wetan, Tambak Segaran, Tambak Rejol, Tambak Bening, Undaan, dan Ngagel merupakan wilayah yang sejak awal berada dalam sistem sewa. Masyarakat yang melihat istilah eigendoms verponding mengira bahwa dokumen itu dapat dikonversi menjadi hak milik.

Padahal, jelas Baktiono, tidak semua eigendom memiliki status yang sama. Ada eigendoms geminte yang sejak zaman Belanda merupakan milik pemerintah, dan ada pula eigendoms verponding yang sebenarnya hak rakyat.

Kesalahpahaman itu semakin menumpuk ketika seluruh aset daerah diwajibkan untuk didaftarkan ke pemerintah pusat pada tahun 2008. Pemerintah Kota Surabaya memasukkan seluruh lahan tersebut ke dalam Sistem Informasi Manajemen Barang Daerah (SIMBADA) tanpa memilah mana tanah yang berstatus hak rakyat dan mana yang merupakan aset pemerintah.

Menurut Baktiono, inilah titik krusial yang membuat sengketa tata kelola lahan tersebut mengeras hingga kini.

Upaya pelepasan surat ijo sebenarnya pernah mendekati realisasi, terutama pada era Wali Kota Bambang DH yang membentuk panitia khusus untuk menangani pelepasan lahan dengan batas maksimal 250 meter persegi. Namun, kebijakan itu kandas setelah mayoritas anggota Komisi D DPRD menolak dalam voting. “Sudah mau dilepas waktu itu, tapi batal lagi,” ujarnya.

Baktiono juga menyoroti bahwa sejumlah gugatan warga kepada pemerintah kota berakhir dengan kekalahan masyarakat. Putusan-putusan itu kemudian menjadi yurisprudensi yang dijadikan rujukan untuk kasus serupa, sehingga semakin menyulitkan perjuangan warga yang berharap mendapat pengakuan atas tanah yang telah mereka tempati selama puluhan tahun. (q cox, Fred)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *