SURABAYA (Suarapubliknews) – Angka penderita Demam Berdarah (DBD) di Kota Surabaya memang turun dan terendah di Jawa Timur. Namun, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini tetap meminta kepada semua pihak, terutama Bumantik (Ibu Pemantau Jentik) untuk selalu gencar turun memantau jentik di rumah-rumah warga.
Hal itu disampaikan Wali Kota Risma saat apel gebyar Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang digelar di Lapangan Thor, Jumat (1/2/2019).
Apel itu dihadiri oleh 5.116 kader yang terdiri dari kader Bumantik, Rumantik (Guru Pemantau Jentik), Wamantik (Siswa Pemantau Jentik), LPMK (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan), dan pihak kecamatan.
Pada kesempatan itu, Wali Kota Risma menjelaskan sebetulnya demam berdarah itu bisa dicegah. Terbukti, dari tahun ke tahun kasus penderita demam berdarah menurun di Kota Surabaya. Pada Bulan Januari 2018, kasus penderita demam berdarah di Kota Surabaya sebanyak 42 kasus dan meninggal satu orang. Sedangkan Januari 2019 ini, kasus penderita demam berdarah di Surabaya 23 orang.
“Artinya, di sini sudah ada penurunan dan saya yakin ini masih bisa ditekan kembali. Makanya, saya mohon dengan hormat untuk selalu menghindarkan keluarga dan tetangga kita dari DBD. Saya tidak ingin ada korban lagi di Surabaya,” kata Wali Kota Risma dalam sambutannya.
Saat sambutan itu pula, Wali Kota Risma menjelaskan ada dua kecamatan di Surabaya yang angka penderita demam berdarahnya tertinggi, yaitu Kecamatan Tandes dan Kecamatan Wonokromo.
Bahkan, pada saat itu Camat Tandes Dodot Wahluyo dan Camat Wonokromo Tomi Ardiyanto dipanggil ke hadapan Wali Kota Risma yang sedang sambutan di panggung kehormatan. Dua camat itu pun berdiri di hadapan Wali Kota Risma hingga apel PSN itu selesai.
“Dua kecamatan ini yang tertinggi jumlah kasusnya. Jadi, ayo terus bergerak. Buktikan kalau kita bisa memberantas DBD. Ayo kita kasik rambu-rambu ke nyamuk-nyamuk itu, dilarang masuk Surabaya,” tegasnya.
Menurut Wali Kota Risma, apabila berusaha memberantas DBD, maka tidak hanya mendapatkan manfaat di dunia, tapi juga bisa mendapatkan pahala di akhirat nanti. Bahkan, ia mengaku apabila berbuat baik kepada sesama manusia, maka Wali Kota Risma yakin tuhan tidak akan tinggal diam.
“Bayangkan kalau itu kepala keluarga dan sampek kejadian meninggal dunia. Maka anak-anaknya akan jadi anak yatim piatu dan kemungkinan kalau ibunya tidak bisa membiayai sekolah akan putus sekolah. Kalau sudah putus sekolah lalu akan jadi anak nakal, sehingga kita juga ikut salah,” tegasnya.
Ia juga mengaku selalu sedih apabila mendengar atau ada laporan bahwa ada warga Surabaya yang cerai. Sebab, beberapa anak yang tertangkap miras atau pun ngelem, rata-rata karena ditinggal oleh orang tuanya.
“Makanya, mari kita selamatkan anak-anak dan tetangga kita. Mari jangan ada korban di Surabaya,” imbuhnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya Drg. Febria Rachmanita menjelaskan pada Bulan Januari 2019 ini, awalnya hanya ada 12 penderita demam berdarah. Lalu bertambah lagi sekarang menjadi 23 orang, dan 3 diantaranya masih inveksi DBD.
“Jumlah ini memang menurun dibanding Januari 2018 yang jumlahnya mencapai 42 kasus. Saat ini hanya 23 orang. Jadi, dari 31 kecamatan ada 11 kecamatan yang ada penderita DBD-nya,” kata Feni-sapaan Febria Rachmanita.
Ia juga menjelaskan bahwa Kecamatan Tandes yang dibilang tertinggi oleh Wali Kota Risma, ternyata saat ini ada 5 orang yang terkena DBD. Sedangkan tertinggi kedua adalah Wonokromo yang ada 4 orang yang terkena DBD.
“Oleh karena itu, di hampir semua kecamatan di Surabaya, terutama di Tandes dan Wonokromo diminta untuk terus gencar mencegah DBD ini,” kata dia.
Hingga saat ini, lanjut dia, ada 23 ribu kader Bumantik di seluruh daerah di Kota Surabaya. Mereka setiap minggu sekali dan ada yang seminggu dua kali turun ke rumah-rumah warga untuk memantau jentik.
“Mereka ini sukarelawan yang dengan ikhlas memantau jentik demi memberantas DBD ini,” pungkasnya. (q cox)