HukrimNasionalPeristiwa

Desak Pembatalan Putusan Bermasalah, Tiga aktivis Ajukan Judicial Review UU MK

128
×

Desak Pembatalan Putusan Bermasalah, Tiga aktivis Ajukan Judicial Review UU MK

Sebarkan artikel ini

SURABAYA (Suarapubliknews) – Tiga aktivis yang mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) datang kembali ke Kantor MK, Senin (7/11/2023). Kedatangan mereka untuk melengkapi berkas yang masih kurang.

Menurut salah satu aktivis yang mengajukan permohonan, Teguh Prihandoko, kedatangan para aktivis  untuk melengkapi berkas ini menjadi bukti keseriusan mereka untuk melakukan judicial review UU MK. Sebab MK merupakan benteng terakhir konstitusi negara yang harus diselamatkan, dari putusan-putusan bermasalah.

“Kami bertiga pada 27 Oktober 2023 lalu telah datang ke MK untuk melakukan judicial review Undang-Undang MK. Kami membuat laporan namun memang belum lengkap. Salah satunya belum menunjuk pengacara. Kami datang lagi pada, Senin (6/11/2023), kita melengkapi berkas-berkas dan memasukkan lagi dokumen ke MK,” ujar Teguh, saat dikonfirmasi, Selasa (7/11/2023).

Teguh menjelaskan, dia menunjuk enam pengacara. Tiga dari Surabaya dan tiga dari Jakarta. Keenam advokat yang tergabung ini menamakan diri sebagai Tim Advokasi Pejuang Penegak Konstitusi (Petisi).

Keenam pengacara itu yakni; Fredrik Jacob Pinakunary SH SE, Sabar Maruli Simamora SH MH, Kukuh Pramono Budi, SH MH, Dedy Purwoko, SH, Kristian Wahyu Hidayat SH dan Yan Reinold Sihite SH.

Sementara sebagai pemohon uji materi, selain Teguh Prihandoko yakni Sugeng Nugroho aktivis nelayan. Keduanya merupakan relawan Jokowi dari Jawa Timur pada Pilres 2014 dan 2019.

Satunya lagi yaitu Azeem Marhendra Amedi, sarjana hukum tata negara yang sekarang sedang menyelesaikan studinya untuk Program Master of Law di University of  York, Inggris.

Menurut Teguh, pihaknya mengajukan permohonan pengujian Pasal 10 dan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK terhadap Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

“Kami mengajukan permohonan pengujian UU MK karena sebagai negara yang cinta konstitusi, memiliki kepentingan untuk mengawasi jalannya proses persidangan di MK,” ujarnya.

Selain itu, warga negara juga berhak atas putusan yang pasti dan seadil-adilnya secara hukum. Bebas dari masalah yang mengancam independensi, imparsialitas dan integritas hakim konstitusi pada pengambilan keputusan.

“Karena putusan MK akan mengingat secara umum, dan berpengaruh kepada seluruh tatanan sistem hukum di Indonesia. Makanya kami tidak ingin setiap putusan MK hanya menguntungkan satu golongan, satu orang atau satu keluarga,” ungkapnya.

Alumnus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (FEB Unair) yang juga Ketua Ksatria Airlangga ini mengatakan, ada lima permohonan yang diajukan ke MK yaitu:

1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya.

2. Menyatakan ketentuan “berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final” pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum, sepanjang tidak dimaknai “berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, sepanjang tidak terdapat pelanggaran yang mengancam imparsialitas Mahkamah”.

3. Menyatakan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum, sepanjang tidak dimaknai “Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi dan Hakim konstitusi yang mengadili dan memutus dalam sidang pleno sebagaimana dimaksud secara mutlak tidak memiliki potensi benturan kepentingan dengan perkara yang diperiksa, diadili dan diputuskan”.

4. Menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/ PUU-XXI/2023.

5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Teguh menyatakan, terdapat fakta yang tidak terbantahkan Ketua Mahkamah Konstitusi (Hakim Anwar Usman) memiliki hubungan keluarga besar dengan Gibran Rakabuming Raka.

“Setelah putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut ditetapkan, Gibran kemudian ditetapkan sebagai calon wakil presiden dari partai-partai yang diuntungkan dengan adanya amar putusan yang telah dibacakan. Seharusnya telah memahami etika untuk mundur atau tidak terlibat dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan karena adanya conflict of interest,” katanya.

“Bahkan dalam kedudukannya sebagai Ketua MK, harusnya memberikan keteladanan sebagai seorang yang dianggap negarawan, bukan sebaliknya melakukan perbuatan yang merongrong kewibawaan Mahkamah Konstitusi,” tegasnya. [q cox]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *