Hukrim

Ketua DPP IPHI Tanggapi Polemik Putusan Kasasi Syafruddin Temenggung

8
×

Ketua DPP IPHI Tanggapi Polemik Putusan Kasasi Syafruddin Temenggung

Sebarkan artikel ini

SURABAYA (Suarapubliknews) – Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (DPP-IPHI), Rahmat Santoso SH, MH angkat bicara terkait maraknya pemberitaan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membebaskan Syafruddin Temenggung.

Menurut Rahmat Santoso, keputusan MA yang mengabulkan permohonan kasasi Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Temenggung yang sebelumnya divonis 15 tahun itu harus dicermati lebih dalam bukan sekadar berpolemik di media massa.

“Konsep keadilan sendiri sebenarnya bukanlah ide monolitik tetapi mengandung banyak dimensi yang saat ini kurang diperhatikan atau diabaikan untuk kepentingan segolongan orang tertentu, ” ujar Rahmat Santoso.

Konsep keadilan ini digambarkan Rahmat Santoso dengan menceritakan kisah perebutan 1 seruling oleh 3 anak yang ditulis Amartya Sen, filosofis dan pemenang hadiah nobel, dalam bukunya “The Idea of Justice” (2009). Buku tersebut merupakan kritik dan revisi terhadap ide-ide John Rawls yang tertuang dalam buku “A Theory of Justice” (1971).

Diceritakan Rahmat Santoso, tiga anak ini, yaitu Budi berargumen seruling tersebut harus diberikan kepadanya karena keadaannya yang miskin dan tidak memiliki satu mainanpun.

Sementara satu anak lagi, Wati berargumen seruling tersebut miliknya karena dialah pembuatnya. Sedangkan terakhir, Safira berargumen dialah yang paling berhak karena satu-satunya yang dapat memainkan seruling tersebut untuk mengeluarkan suara alunan musik yang indah.

“Lantas siapa yang berhak untuk memperoleh seruling tersebut? Tentu sangat bergantung pada rasa keadilan Anda, ” ucap Rahmat Santoso.

Pendukung ekonomi egaliter, lanjut Rahmat, yang menyandarkan pada prinsip kesetaraan akan memilih Budi sebagai pemilik seruling.

Sedangkan Kaum libertarian yang mengutamakan kebebasan dan hak-hak individu akan mendukung Wati selaku pemilik hak kekayaan intelektual atas seruling tersebut.

“Tapi kalau pengikut Jeremy Bentham berkaitan teori utilitas dan kebahagiaan terbanyak akan mendukung Safira, dikarenakan manfaat suara indah yang dapat dinikmati oleh banyak orang,” cerita Rahmat Santoso.

Dari narasi kisa Amartya Sen itu, lanjut Rahmat Santoso pihak Kepolisian mungkin atau memiliki perasaan adil jika seseorang yang telah dijadikan tersangka menjadi terdakwa.

Sementara pihak Kejaksaaan merasa adil jika seseorang terdakwa menjadi terpidana. “Sebaliknya Tersangka, Terdakwa ataupun Terpidana maupun keluarganya sebenarnya juga tetap berhak memperoleh keadilan terkait kejadian yang sebenar-benarnya terjadi,” ucapnya.

Dikaitkan dengan kasus Syafruddin Temenggung, Rahmat Santoso mengatakan jika kasus tersebut bukan disidik oleh KPK, tentunya tidak akan banyak pihak – pihak yang tertarik mempertanyakan atau memperdebatkan putusan bebasnya.

“Dulu juga terjadi pada Putusan Praperadilan yang mengabulkan perihal tidak sahnya penetapan tersangka terhadap kasus Budi Gunawan oleh KPK yang dinilai menerobos pakem praktik praperadilan selama ini, ” ujarnya.

Putusan Praperadilan Budi Gunawan tersebut, lanjut Rahmat, awalnya sangat kontroversial dikalangan masyarakat. Namun saat ini menjadi pembuka jalan bagi masyarakat pencari keadilan yang terzolimi dalam carut marut proses hukum.

“Proses penegakan hukum modern di Indonesia seharusnya lepas dari pandangan-pandangan primordialisme Pokok’e yang memegang teguh bahwa semua Terdakwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi apalagi yang sudah menjadi berita besar di mass media harus dinyatakan bersalah karena mengandung unsur-unsur extra-ordinary crime, tanpa memperhatikan proses hukum yang sudah berjalan apakah sudah benar ataukah tidak, ” ucapnya.

“Tidak ada seorangpun yang menanyakan dan mencoba meneliti apakah benar dan adil seorang Syafruddin Temenggung yang telah melaksanakan tugasnya sesuai peraturan yang berlaku selaku Ketua BPPN untuk dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Agung? ” tambahnya.

Benar atau salah terkait isi Putusan Pengadilan Syafruddin Temenggung, ujar Rahmat Santoso merupakan pertanggungjawaban Majelis Hakim terhadap amanah jabatan yang diembannya.

“Saya tidak mengenal saudara Syafruddin Temenggung. Namun satu yang pasti, semua orang berhak untuk memperoleh keadilan. Tidak semua yang berlabel Tersangka, Terdakwa dan bahkan Terpidana 100% sudah pasti bersalah,” pungkasnya. (q cox)

Foto: Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (DPP-IPHI), H Rahmat Santoso SH, MH.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *