SURABAYA (Suarapubliknews) ~ Cagar budaya merupakan warisan berharga yang mencerminkan peradaban suatu daerah, tak terkecuali di Kota Surabaya. Salah satu anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Surabaya yang juga pakar tata kota dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof Dr Ir Johan Silas memberikan pandangannya terkait upaya mempertahankan cagar budaya guna menjaga eksistensi sejarah di Kota Surabaya.
Terhitung hingga hari ini, Surabaya memiliki lebih dari 200 situs cagar budaya yang tersebar di seluruh wilayah kota. Johan menyebutkan, bangunan-bangunan tersebut telah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya untuk kategori cagar budaya. “Syarat tersebut tercantum dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya,” papar tokoh arsitektur nasional ini.
Lebih lanjut, profesor emeritus dari Departemen Arsitektur ITS ini mengungkapkan bahwa kegiatan pelestarian bangunan cagar budaya di Kota Surabaya adalah program yang berkelanjutan. Untuk saat ini, upaya revitalisasi bangunan cagar budaya menargetkan kawasan kota lama yang terbagi menjadi empat zona. “Area pembagiannya yakni zona Eropa, Pecinan, Arab, dan Melayu,” ungkap lelaki asal Samarinda tersebut.
Menurut Johan, keempat zona ini mewakili berbagai budaya yang mewarnai peradaban Kota Surabaya. Zona Eropa terletak di sekitar Jembatan Merah, dengan bangunan yang terkenal yakni Gedung Internatio dan Hotel Majapahit. Sedangkan, zona Pecinan terletak di kawasan Jalan Kembang Jepun dan sekitarnya. Dua zona lainnya yakni zona Arab dan Melayu terletak di sekitar Jalan Ampel dan Jalan Semut. “Setiap zona ini menawarkan pemandangan dan atmosfer yang unik dari berbagai etnis,” tuturnya.
Upaya Pemkot Surabaya dalam mempertahankan bangunan cagar budaya tidak sebatas revitalisasi dan penataan ulang kawasan wisata bersejarah seperti kota lama. Johan mengatakan bahwa diperketatnya kualifikasi anggota TACB juga memberi pengaruh signifikan terhadap kualitas cagar budaya yang ada hingga saat ini. “Dahulu, regulasi penetapan tim masih lemah, akibatnya beberapa bangunan sebenarnya tidak layak untuk ditetapkan sebagai cagar budaya,” ujarnya.
Tim yang terdiri dari beberapa dosen universitas di Surabaya beserta seorang arkeolog ini bertugas untuk pelestarian, pengawasan, pengembangan, dan penelitian cagar budaya. Pembentukan TACB menjadi salah satu upaya pemerintah dalam menjaga nilai-nilai sejarah dan keaslian dari bangunan atau situs bersejarah yang ada di Kota Surabaya. “Dalam rangka mempertahankan cagar budaya, kami bekerja lebih jauh dari sekadar undang-undang,” tandasnya.
Pendiri jurusan Arsitektur ITS tersebut juga menjelaskan tentang salah satu upaya mempertahankan orisinalitas suatu bangunan bersejarah. Upaya tersebut yakni penetapan regulasi bahwa proyek bangunan baru tidak boleh meniru 100 persen dari bangunan cagar budaya yang telah ada sebelumnya. Meskipun tujuannya adalah untuk keindahan tata kota, tetapi tetap harus dibuat berbeda. “Masih diperbolehkan apabila ingin menggunakan kekhasan arsitektur yang lama,” tuturnya.
Segala upaya preservasi, revitalisasi, dan restorasi cagar budaya tersebut tentu tidak terlepas dari adanya pasang surut. Johan menyampaikan tantangan terbesar untuk mempertahankan integritas bangunan bersejarah adalah lemahnya kesadaran sejarah masyarakat di tengah modernisasi kota. “Hal ini secara tidak langsung menurunkan eksistensi cagar budaya sebagai salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat,” sambungnya.
Lelaki yang telah purnatugas sebagai dosen di ITS pada tahun 2006 tersebut berharap, wawasan dan empati masyarakat terhadap sejarah dan budaya kotanya dapat tumbuh secara seimbang. Ilmu mengenai cagar budaya diharapkan dapat ditambahkan dalam pembelajaran, khususnya pada bidang arsitektur. “Kekhasan dan eksistensi cagar budaya akan terus berkembang seiring tumbuhnya pengetahuan dan empati masyarakat,” tutupnya. (q cox, tama dini)